Perjalanan jauh dari Surabaya menuju kawasan Pronojiwo di Lumajang untuk
berkunjung ke deretan air terjun yang berada disana terancam gagal karena pada
saat datang, kami dihadang dengan hujan yang begitu derasnya.
Satu destinasi Air Terjun indah bernama Kabut Pelangi sudah gagal kami
sambangi karena jalur trekking yang berbahaya saat hujan hingga akhirnya pihak
pengelola menutup akses kesana demi alasan keamanan.
“Jika belum mempunyai dana yang cukup untuk pergi ke Raja Ampat coba
datang saja dahulu ke Labengki dan Sombori” begitulah kata kata dari beberapa
orang yang memang sudah pernah kesana. Tapi apakah benar Labengki seindah
dengan Raja Ampat yang tersohor itu? Dari banyaknya foto yang tersebar di
linimasa memang Labengki & Sombori mempunyai daya tarik yang luar biasa.
Angin bertiup cukup
pelan namun ombak di tepian pantai Desa Nangamira sudah mulai bergejolak pagi
itu. Deburan ombak menghantam hamparan pasir berwarna hitam sisa letusan Gunung
Tambora 2 abad silam. Dari kejauhan nampak boat yang akan membawa kami ke Pulau
Satonda mendekat, mencari posisi aman untuk bersandar di dermaga tempat kami
menunggu.
Setelah sehari
sebelumnya kami puas menjelajah daratan Pulau Bawean mulai dari Penangkaran
Rusa, Danau Kastoba, hingga bermain “Cliff Jumping” di Tanjung Ga’ang. Kini
saatnya kami melihat lebih dalam keindahan lautan yang ditawarkan di Pulau
Bawean. Tepatnya di Gili Noko yang banyak disebut sebut orang sebagai salah
satu surga yang ada di Bawean.
Pukul 5 pagi matahari untuk
pertama kali mulai menampakkan sinarnya. Lembut dan perlahan seiring dengan
laju kapal Ferry yang juga perlahan menerjang Laut Jawa. Sudah 8 jam kapal ini
berlayar dari pelabuhan gresik dengan tujuan Pulau Bawean yang berada di garis
paling luar dari Kabupaten yang berjuluk “Kota Pudak”. Bawean adalah sebuah
gugusan pulau yang berstatus “Cagar Alam” dan mulai digadang gadang menjadi
tujuan wisata utama di Kabupaten Gresik.
Siang hari itu
matahari seakan enggan untuk menampakkan sinarnya atau memang mungkin dekapan
awan yang membuat ia enggan bersinar dengan terang. Tapi memang inilah wajah
pegunungan flores. Kabut silih berganti, datang dan pergi membalut deretan
bukit bukit di sekitar daerah Cancar Kabupaten Manggarai Barat. Aku ditemani
beberapa kawan setia menunggu dekapan kabut ini menghilang. Kami penasaran
dengan apa yang orang bilang sawah dengan bentuk jaring laba laba.
Malam telah berlalu, subuh pun beranjak pergi. Tapi kaki ini masih tetap berjingkat jingkat ketika melangkah diatas lantai tanpa alas. Bajawa kali ini sungguh begitu dingin menurutku. Tapi memang Bulan Agustus ini adalah puncak dari musim kemarau yang biasanya suhu pada malam hari akan menyentuh titik terendahnya.
Sekumpulan bocah bocah kecil berlari larian larian mengejar bola yang menggelinding. Sebuah halaman depan rumah mereka sulap menjadi tempat bermain mengasikkan. Wajah wajah ceria nan polos menghiasi wajah mereka. Orang orang tua yang ada disekitar nampak tengah sibuk mempersiapkan sebuah panggung mini dengan beberapa perlengkapan pengeras suara.
Penanjakan seakan tertidur, tak ada geliat wisatawan maupun para
pedagang yang menjajakan makanan seperti biasanya. Semakin beranjak malam suhu
semakin turun mendekati angka 10 derajat celcius. Sinar rembulan bersinar
terang mengurangi pekat malam. Lintasan berjuta bintang berumur ratusan tahun
cahaya menampakkan wujudnya di sudut selatan. Atraksi alam yang sempurna dan
Penanjakan malam itu seakan hanya milik kami yang berteman sepi.
“No Signal, No Worry, Feel The Nature In Harmony”. Begitulah tulisan yang terpampang di depan gerbang masuk Coban Tengah yang seakan memberikan sebuah sentilan kepada siapapun yang ingin datang berkunjung. Sebuah konsekuensi yang harus kalian terima jika ingin menikmati alam secara lebih dalam. Tanpa diperbudak gadget maupun hal hal fana. Yang terasa hanyalah nyanyian alam bersama canda tawa yang terasa makin intim diantara sesama.