Dari sudut jalan layang di kota sidoarjo aku dapat melihat dengan jelas sebuah kerucut sempurna kokoh berdiri di sisi selatan. Tampak puncak dari kerucut itu menyapa dari balik awan awan tipis di sisa musim kemarau ini. Sebuah gunung yang dahulu dikaitkan dengan cerita kalau dahulu kala itu adalah puncak gunung semeru yang jatuh ketika dipindahkan oleh tangan dewa. Yaa inilah cerita tentang Sang Pawitra, Gunung Penanggungan.
Tidak begitu menjulang tinggi ke langit, tidak juga begitu istimewa
dibandingkan gunung gunung lain di Jawa Timur, namun penanggungan memberikan
keistimewaannya yang tidak bisa di dapatkan dari tempat lain sejak dari masa
lampau hingga saat ini.
Keistimewaan gunung penanggungan adalah cerita dari masa lampau,
bagaimana gunung ini menjadi magnet bagi majapahit pada saat kejayaanya dulu.
Dari kaki gunung hingga lerengnya banyak sekali ditemukan peninggalan kerajaan
majapahit.
Dan aku pun sempat membaca sebuah artikel tentang “Puncak Yang Dijatuhkan
Dewa”.
Cerita yang sangat menggelitik yang menjadikan aku sangat tertarik untuk
mendaki gunung ini. Dan kali ini aku akan sedikit bercerita tentang gunung
penanggungan mulai dari sejarah masa lampau hingga menjadi destinasi pendakian
pada saat ini.
Sejarah Gunung Penanggungan
Alkisah pada jaman dahulu kala para
dewa akan memindahkan sebuah gunung yang bernama semeru dan merupakan puncak
alam semesta kala itu. Gunung mahameru yang semula tertancap di daerah India (Jambhudwipa)
akan dipindahkan ke timur ke daerah Jawa (Jawadwipa).
Pemindahan tersebut untuk memberi
pancang paku bumi yang bertujuan untuk menghentikan guncangan jawa akibat
terombang ambing oleh laut jawa dan samudera hindia. Namun dalam proses
pemindahannya gunung yang dibawa dewa banyak berceceran yang mengakibatkan
terbentukya pegunungan mulai dari sumatera hingga jawa bagian timur.
Tubuh mahameru akhirnya pun
terjatuh dan menjadi gunung semeru namun puncak dari mahameru terjatuh di
sekitar sidoarjo dan mojokerto dan sampai saat ini kita kenal dengan gunung
penganggungan.
Gunung penanggungan juga dikenal dengan sebutan “Pawitra” atau gunung
suci. Karena pada masa Majapahit gunung ini menjadi simbol kesucian dan banyak
didirikan situs pemujaan di kaki hingga lereng gunung pawitra.
Cagar Budaya
Pada bulan Januari yang lalu menjadi kabar gembira bagi kalangan pecinta
alam ataupun para arkeolog sejarah karena gunung penanggungan di tetapkan
sebagai cagar budaya berdasarkan keputusan Gubernur Jawa Timur.
Ratusan cagar budaya peninggalan Kerajaan Majapahit dan Mataram Kuno
masih tersimpan dengan baik di lereng lereng Sang Pawitra.
Dengan ditetapkannya sebagai kawasan cagar budaya, maka kawasan Gunung
Penanggungan tersebut dilarang untuk diubah peruntukannya. Namun untuk kegiatan
penelitian dan pariwisata berbasis edukasi dalam rangka menjaga kelestariannya
tetap diperbolehkan.
Masa Kini
Dari sejarah yang panjang dari legenda hingga dijadikannya cagar budaya,
daya tarik gunung penanggungan pun semakin dikenal oleh para kalangan pendaki
atau para pecinta petualangan.
Bagaimana tidak gunung yang tak seberapa tinggi ini mempunyai pemandangan
alam yang sangat mempesona yang menjadi magnet bagi siapa saja yang menyukai
petualangan. Bagaimana tidak hanya dengan waktu tempuh sekitar 3 jam kita akan
disuguhkan panorama alam yang sangat menarik.
View Saat Perjalanan Menuju Puncak |
Memang terjadi pro dan kontra akan rencana tersebut. Namun yang pasti
semua keputusan tersebut tetap menjaga kelestarian gunung penanggungan sendiri
dan tak merusak ratusan cagar budaya yang ada di gunung ini.
Pendakian
Bagi kalangan para pendaki gunung penanggungan juga merupakan destinasi
menarik jika berkunjung ke Jawa Timur. Tak hanya Gunung Semeru, Bromo, Ijen
saja yang menyajikan panorama alam yang menakjubkan Penanggungan juga mempunyai
daya tarik yang tak kalah indah.
Ada 3 jalur pendakian yang bisa dilalui untuk menuju puncak penanggungan.
Jalur Trawas, Jalur Jolotundo dan Jalur Ngoro. Namun jalur pertama yang lebih
mudah aksesnya dan paling sering dilalui para pendaki.
Kali ini aku kan bercerita Jalur Trawas, karena baru jalur ini saja yang
pernah aku lalui, heheh.
Pos pendakian Trawas ini tepat persis disamping Kampus Ubaya Trawas, jika
kalian bingung gunakan saja GPS (Gunakan Penduduk Sekitar), pasti kalian akan
tiba dengan selamat dan pada waktunya.
Kita akan ditarik retribusi sebesar 5 ribu per orang dan kita akan di
kasih sebuah peta kecil. Sang penjaga juga akan menerangkan secara gamblang
mengenai medan pendakian dan aturan saat mendaki nanti.
Jalur lebar dan sangat jelas, petunjuk menuju puncak juga gampang sekali
kita temui. Ada 4 pos yang akan kita temui sepanjang perjalanan. Jarak antar
pos bervariasi tergantung jarak dan kesulitan jalur.
Jalur akan terasa kering dan panas terutama pada saat musim kemarau. Suhu
juga terasa panas karena memang gunung ini tak begitu tinggi dan hutan yang ada
pun terkesan seperti kebun penduduk yang bertambah tinggi. Tak ada pohon pinus
atau cemara yang ada hanyalah pohon pisang dan lamtoro, hehe.
Lahan untuk mendirikan tenda ada di puncak bayangan. Disini terdapat
lahan datar yang luas cukup untuk menampung sekitar 30 tenda. Panorama disini
pun sudah sangat indah, karena puncak bayangan ini terletak di lahan terbuka.
City Light |
***
Tinggal seperempat jalan lagi, bayangan puncak pun sudah terlihat tapi
nafas semakin terengah engah di antara udara dingin pagi. Kilatan lampu lampu
pun tampak berkumpul di atas puncak sana.
Semburat cahaya merah mulai muncul di batas cakrawala menandakan sang
mentari akan segera bangun dari tidur malamnya. Tiba tiba terdengar teriakan
dari atas.
“Mass ... mass...ayo cepetan, sebentar lagi sunrise. Puncak sedikit lagi”
Teriakan itu ternyata dari adek sepupuku si Gallus. Dia tampak begitu
antusias menuju puncak, mungkin karena ini pendakian pertamanya.
Memang gunung ini tak lebih tinggi dari 2000 mdpl namun jangan sekali
kali meremehkan jalur menuju puncaknya. Karena jalur dari puncak bayangan ke
puncak penanggungan ini benar benar menguras tenaga.
Kemiringan lebih dari 45 derajat dipadu dengan cadas batuan yang mudah
terlepas. Sangat riskan jika kita terlalu terburu buru dalam melangkah. Karena batuan
yang rapuh sangat berbahaya bagi diri kita sendiri maupun para pendaki yang ada
di bawah kita.
Siluet Hitam Diantara Merah Putih |
Kabut tipis pun mulai menyapu puncak penanggungan, berpadu indah dengan
sinar matahari yang masih menampakkan warna kemerahannya. Tepat disamping mulai
nampak bayangan raksasa dari tubuh Arjuno Welirang, dan di beberapa sudut
nampak bendera merah putih berkibar di antara para pendaki. Menambah khidmat
rasa kebangsaan di atas ketinggian ini.
8 komentar
Kamu. Selalu keren. Di mataku. Mz.
ReplyDeleteTerharuuuuuuuu -__-
Deletemas mau tanya dong masalah layout,
ReplyDeleteaku pakai tema di themexpose kok setelah diaplikasikan main bar sama sidebar nya kok jadi gak sejajar ya :(
barangkali bisa jelasin :D hehe thx
bisa diliat disini : http://www.fraunesia.com/
mas mau tanya dong masalah layout,
ReplyDeleteaku pakai tema di themexpose kok setelah diaplikasikan main bar sama sidebar nya kok jadi gak sejajar ya :(
barangkali bisa jelasin :D hehe thx
bisa diliat disini : http://www.fraunesia.com/
Source codenya mungkin ada yang kurang mbak, coba di baca dulu intruksi pemakaina dari tema yang mbak gunakan.
DeleteFoto-foto bang dikta emang selalu kece!!! Bonus sejarahnya pula, makasih bang dikta yang mirip google :)
ReplyDeleteAwas di gigit anjing
DeleteUntuk foto pertama, itu lokasi tepatnya dimana ya? trims
ReplyDelete