Mountaineering

Gunung Kelud - Menyapa Wajah Barumu

5/23/2017setapakkecil






Hampir beberapa hari kota kota besar seperti Solo, Jogja menjadi temaram karena berkurangnya sinar matahari akibat debu vulkanik yang dikeluarkan Gunung Kelud yang berjarak ratusan kilo di sebelah timur. Bahkan debunya pun sampai jatuh di Kota Bandung. Beberapa bandara di Jawa Timur dan Jawa Tengah pun harus ditutup karenanya. Sedikit memory untuk mengingat betapa hebatnya amarah Kelud sang gunung paling mematikan di Pulau Jawa.
Masih terngiang dalam ingatan setidaknya dalam 10 tahun terakhir Gunung Kelud telah erupsi sebanyak 2 kali yang pertama tahun 2007 yang mengubah wajah kelud saat itu, dan aku pun telah menulis sedikit catatan tentang itu, bisa kalian baca disini "Keindahan Gunung Paling Mematikan"

Tahun 2014, Kelud akhirnya meluapkan amarahnya yang paling hebat. Semua isi dari perutnya ia lontarkan dan bahkan menurut para ahli letusan kelud lebih besar 10 kali lipat dari Gunung Merapi. Sungguh tak terbayangkan betapa besarnya letusan saat itu, desa desa disebelah barat kelud habis tersapu debu vulkanik. Ribuan orang harus mengungsi dan kekacauan pun terjadi dimana mana. Amarah itulah yang kembali merubah wajah Kelud hingga saat ini, dan aku ingin untuk menyapanya kembali.


***

 “Haahh..hahhhh….breakkk” Jalal menghentikan langkah dengan nafas tersengal sengal.

“Ahh ternyata munggah gunung iku abot yooo..” (Ternyata naik gunung itu berat ya) seloroh Jalal tersenyum kecut.

“Alon alon ae…sing pasti perjuangan iki bakal dibayar ning duwur kono lal” (Pelan pelan saja, yang pasti perjuangan saat ini pasti terbayar di atas sana), timpalku menyemangati teman seperjalanan yang berusaha untuk meraih Gunung pertamanya.

Ya memang selepas dari pintu masuk hutan di Jalur Desa Tulungrejo kami berdua langsung dihajar dengan tanjakan tanjakan yang tiada henti. Namun rimbunnya jalur pendakian yang membentuk kanopi alami membuat kami terus bersemangat untuk melangkah. 30 menit pun berlalu namun Kelud nampaknya ingin menguji mental dan tekad kami berdua saat itu. tiba tiba awan pekat menyergap dan seketika juga hujan turun dengan derasnya. 

“piye lal, lanjut?” tanyaku pada Jalal.

“Lanjut lahh…masak mau nyerah turun” teriak jalal dengan semangat berkobar.

Dengan langkah tertatih pos 1 pun berhasil kami gapai. Pos sederhana yang berdiri di sebidang tanah datar dengan bangunan kayu tua namun masih terlihat kokoh. Sangat pas untuk sejenak berteduh dari guyuran hujan. Menit demi menit pun berlalu namun hujan nampaknya masih enggan untuk berlalu. Tapi yang pasti tekad kami sudah bulat, kami akan terus melangkah walaupun dengan guyuran hujan sederas apapun.

Selepas pos 1 jalur langsung menanjak tajam seakan memberikan peringatan jika perjalanan kedepan masih menantang. Langkah demi langkah, setapak demi setapak kami pun semakin berjalan naik. Hutan pun nampak semakin merapat dan lebat apalagi ditambah hujan deras semakin membuat suasana pendakian semakin menantang.

Suasana hutan lebat dan lembab menjadikan trek pendakian Gunung Kelud ini habitat ideal untuk para pacet. Dan itu bisa kami buktikan pada saat berjalan kami sering menemui pacet pacet yang menempel di sepatu kami, tapi untungnya belum sampai menghisap darah segar kami berdua. Bukan hanya itu disepanjang jalur pendakian aku berjumpa dengan cacing yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Panjang, besar, diujung kepalanya berwarna merah dan melata dengan sangat cepat. Ahhh itu momok terbesar dalam pendakian kali ini, karena memang aku geli dengan hewan melata seperti cacing aneh ini.

Seiring dengan redanya hujan jalur pun nampak semakin melandai. Vegetasi yang sebelumnya berupa pohon pohon besar kini berubah menjadi perdu setinggi manusia. Nampaknya kami sudah berada di ketinggian. Dan benar saja akhirnya kami melihat plang bertuliskan Pos 3, disinilah tempat ideal untuk mendirikan tenda sebelum esok hari menuju puncak Kelud. Total kami berjalan 3 jam dari gerbang masuk hutan hingga di pos 3.

Pos 3 merupakan camp ground yang ideal karena terletak di tanah datar yang bisa menampung banyak tenda dengan pemandangan terbuka langsung ke Puncak Gajahmungkur, Gunung Kelud. Dari kejauhan pun kita dapat melihat langsung jejak jejak letusan Kelud pada masa lampau yang menjadikan Gunung ini mempunyai bentuk tak beraturan. 

Pos 3, namun sayangnya bintang tertutup awan
***

Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk mulai beranjak dari camp ground menuju kawasan Kawah Gunung Kelud. Dengan pertimbangan cuaca yang cerah dan suhu udara yang masih segar. Tepat pukul 6 pagi aku dan Jalal pun mulai melangkahkan kaki dengan berbekal daypack berisi air minum dan beberapa camilan.

Kelud pagi ini menampilkan senyumnya yang paling manis. Cuaca sangat cerah sehingga menampakkan semua keindahan yang dimilikinya, berbeda dengan hari sebelumnya yang nampak selalu muram. Jajaran pegunungan disekitar Kelud pun nampak dengan gagahnya. Gunung Buthak dan Gunung Arjuno seakan berdiri angkuh dan menantang siapa saja untuk berkunjung mendaki mereka.

Saat dataran di pos 3 menemui ujungnya jalur kemudian turun tajam menuju kebawah. Perlu kewaspadaan ketika menuruninya mengingat jalur yang sempit dan berbatu, siap menggelincirkan kaki kita. “Jalur Punggung Naga” begitulah tulisan di plang yang menyambut sebegitu kami sampai di dasar turunan.

Jalur Punggung Naga
Nama yang menarik pikirku, dan memang mempresentasikan jalur di depan yang akan kami lalui. Jalur meliuk liuk naik turun dengan kiri kanan jurang dan berujung di sisi kiri Puncak Gajah Mungkur. Jalur naga ini adalah jalur yang mempunyai pemandangan sangat menarik. Bagaimana tidak kiri, kanan, depan dan belakang siap memanjakan kami dengan pemandangannya yang aduhai.

Tak terasa kami berdua pun banyak menghabiskan waktu di Jalur Naga ini. satu persatu mata lensa pun membidik objek dengan latar pemandangan yang menarik. Satu dua langkah kami berhenti untuk mengabadikan momen. Toh Kelud tak akan lari kemana mana, tak perlu tergesa gesa melangkah dan kami pun menikmati semua yang kami dapat di perjalanan ini.


Ketika punggung naga telah menemui ujungnya keadaan jalur pun mulai berubah. Kerikil kecil bercampur pasir pun menyapa ujung langkah kaki kami. Jalur kemudian menanjak tajam melipir tebing di sisi kiri Puncak Gajah Mungkur. Mulai dari sini kami harus awas memperhatikan langkah agar kaki tak terpeleset jatuh.

“Woowww…serasa di Planet lain” aku terperangah sesampainya di ujung tanjakan berbatu. Kelud yang dahulu hijau kini kering kerontang, tanah luas menghampar dengan beberapa puncak puncak runcing menantang langit. Dataran tandus berpasir, berbatu dengan penuh cerukan seakan menghadang pendaki yang ingin menuju bibir kawah.

Aku dan Jalal pun berbelok ke sisi kanan mengikuti jalur setapak kecil yang telah ada. Pada awalnya terasa landai dan mudah saja kami berjalan hingga akhirnya kamipun terhenti disebuah cerukan dalam dengan tebing tinggi sebelah kanan yang menghadang. Aku pun kebingungan bagaimana cara untuk mencapai tebing di seberang sana.


Aku mencoba turun merangkak kebawah cerukan, namun nyali tak cukup kuat untuk turun ke dalamnya karena kemungkinan aku tak akan bisa kembali untuk naik ke atas. Melihat ke sisi kanan tebing curam dengan bebatuan lumutnya seakan mustahil untuk dilalui. Sempat aku berfikir untuk mengakhiri perjalanan ini, namun bibir kawah yang hanya beberapa puluh meter di depan menjadi penyemangat lebih bagiku. Tak boleh aku berhenti disini, akhirnya aku memilih kembali merangkak ke atas dan memilih jalur berlumut melilipir di pinggiran tebing. Menakutkan, karena jurang disebelah kiri yang siap menyambut aku dan Jalal. Kami berjalan berdua dengan sangat pelan, keringat pun mulai mengucur deras dengan adrenalin yang semakin terpacu.


Perlahan tapi pasti akhirnya kami pun dapat menggapai tebing di seberang cerukan. Dengan kaki yang masih gemetaran aku pun melangkah meninggalkan titik yang aku anggap paling ektrim di perjalanan kali ini. 5 menit berjalan akhirnya kami berdua tiba di bibir kawah Kelud. Aku dan jalal terduduk melihat indahnya Kawah Kelud berwarna hijau yang berada di hadapan kami.

Wajahmu kini memang benar benar telah berubah. Kubah lava yang dahulu menjadi sajian utama wisata Kelud kini telah hilang berganti dengan danau kawah berwarna hijau dengan tebing tebing tandus tinggi sebagai dindingnya. Sekali lagi terbayang bagaimana dahsyatnya letusanmu pada tahun 2014 yang lalu. 


Namun 2 tahun setelahnya tepatnya hari ini Kelud sudah mulai bergeliat kembali, terlihat di seberang tempat kami berdiri nampak beberapa traktor dan eskavator yang nampak mulai menata kawah kelud yang mulai terisi air kembali. Belum jelas apa maksud kegiatan tersebut dibawah, tetapi ketika aku memicingkan mata dan sedikit menelisik aku sadar bahwa kegiatan itu mungkin untuk mengaktifkan kembali terowongan air yang ada sejak Jaman Belanda dulu. Karena memang air kawah di Kelud ini harus selalu terkontrol debitnya. Jika tidak akan sangat berbahaya jika tiba tiba Kelud kembali murka, kelud bisa memuntahkan bom air yang siap menerjang desa desa di sekitarnya.


Di atas ketinggian 1731 mdpl adalah tempat dimana aku dan Jalal menyapa gunung paling mematikan di Pulau Jawa. Melihat hijaunya kawah kelud, terseok seok diantara pasir pasir dan jurangnya adalah sebuah euphoria yang bisa kami banggakan di atas ketinggian ini. terlebih bagi Jalal ini adalah pendakian pertamanya, semoga dari proses pendakian hingga mencapai berdiri disini adalah sebuah pembelajaran untuk menempa diri menjadi lebih baik lagi. 

Dan satu lagi yang bisa aku tekankan, ketinggian gunung bukanlah tujuan akhir sebuah pendakian. Perjalanan kami belum berakhir, karena tujuan akhir kami adalah kembali pulang kerumah dengan selamat.


How To Get There?

  • Dari Jakarta atau Surabaya bisa menggunakan kereta dan turun di Stasiun Wlingi, Blitar. Dan jika menggunakan bus bisa turun di Wlingi tepatnya di Kawedanan.
  • Dari Stasiun atau Kawedanan Wlingi bisa menggunakan jasa ojek dengan biaya rata rata 30 ribu sekali jalan. Turun di Desa Tulungrejo, tepatnya di pos pendakian Gunung Kelud.



You Might Also Like

5 komentar

  1. Subhanalloh, pemandangan Gunung Kelud ternyata sungguh indah sekali mas Dikta. Semoga keindahannya tidak dirusak lagi para pendaki yang buang sampah sembarangan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mas Kelud memang punya view yang aduhai :)

      Delete
  2. Emang untuk pendakian sekarang sudah diperbolehkan belum ?

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. sebelum erupsi sy pernah gowes ke puncak kelud, start dr desa plosoklaten kediri sampai puncak. jalur dari kediri bisa dilewati mobil krn jalur wisata. dulu di lubang kawah itu masih tumbuh anak kelud yg akhirnya hancur saat erupsi. mungkin pelataran parkir mobil dan terowongan menuju kawahpun saat ini sudah tidak ada...

    ReplyDelete

Followers

Contact Form