Mountaineering

Gunung Merapi dan Ego Yang Tertahan

12/07/2016setapakkecil


Sudah berbulan bulan rasanya aku tak mendaki gunung. Kaki seakan gatal ketika jemari tangan satu persatu membuka folder foto berisikan gambar gambar pendakian yang telah lalu. Beginilah yang membuat mendaki gunung itu candu. Bagaimana tidak, walaupun hanya lelah teramat sangat yang dirasakan, bersumpah serapah tak akan kembali mendaki dan ada perasaan menyesal ketika melewati jalur menanjak yang teramat terjal.


Namun… semua itu seakan sirna ketika kita sudah sampai di titik paling atas dan membuka kembali catatan perjalanan menjejaki tanah tanah tertinggi di negeri ini, dan kini aku rindu mendaki.

Dan inilah kami… sekumpulan orang yang selalu rindu akan pelukan dingin kabut, lembabnya hutan hutan, rindu akan peluh yang keluar demi menapaki jalur menanjak. Di gunung kita bertemu dan di gunung pulalah kita kembali untuk bersama membagi kebahagiaan diantara kami semua. Aku menyebut mereka adalah keluarga… canda, senyum dan tawa semua ada.

Walaupun kini kita terpecah berai tersebar di beberapa kota namun setidaknya kami menyempatkan dalam beberapa hari untuk kembali berkumpul dan kembali melakukan kesenangan yang mempertemukan kami semua. Mendaki….



Gunung Merapi akhirnya menjadi pilihan karena letaknya yang persis di tengah tengah pulau Jawa dan akses yang mudah dari barat maupun dari timur. “Merapi tak pernah ingkar janji” begitulah banyak orang berkata tentang gunung teraktif yang di Pulau Jawa. Begitupun dengan kami yang menepati janji untuk melepas rindu di Gunung Merapi.

“New Selo” begitulah tulisan yang terpatri kokoh diatas warung warung yang masih tutup. Kami 8 orang dari berbagai kota akhirnya berkumpul di titik yang merupakan gerbang masuk pendakian Gunung Merapi. Udara dingin pagi nampak menerpa kulit kami yang sudah terlalu lama bercengkerama dengan bising dan polusi.

“Ve…berapa lama kita mendaki sampai di Pasar Bubrah nanti? Tanyaku pada vero yang sudah pernah datang ke Merapi sebelumnya.

“Kira kira 4 – 5 jam an dengan jalan santai”..timpal vero

Oke…nampaknya kita sebelum sore sudah bisa membuka tenda dan beristirahat di atas sana, pikirku.

Siap untuk melangkah


--09.00--
Jarum jam menunjukkan tepat pukul 9 dan kamipun sudah siap untuk melakukan pendakian. Tas keril sudah dalam gendongan, air berbotol botol pun sudah kami siapkan. Karena memang Merapi tak menyediakan sumber mata air satupun. Bayangan tentang beratnya jalur pun sudah di ujung angan dibutuhkan fisik dan mental yang kuat. Dan begitupun factor alam akan sangat menentukan suksesnya perjalanan. “Bismillah” sebuah kata pembuka doa kami. Dan satu lagi teriakan yang akan membakar semangat kami “Woyooooo…..”


--09.45--
Peluh sudah membanjiri muka dan badan apalagi ditambah sinar matahari yang nampaknya sedang bersinar riang. Berbeda dengan hari hari sebelumnya yang selalu menurunkan rintik hujannya. Dari titik awal “New Selo” jalur pendakian sudah menggetarkan lutut, dan kami yang jarang berolah raga ini pun tampak kepayahan.

Musim Hujan tahun ini nampaknya datang lebih awal di pertengahan Bulan Oktober. Menjadikan jalur tak begitu berdebu sehingga sedikit mengurangi siksaan dalam pendakian kali ini.

“Pos 1 masih jauh kah?” tanyaku pada vero yang nampak bersemangat memimpin kelompok kami di depan.

“Gerbang saja belum kok mau maunya pos 1” menimpali sambil terkekeh kecil.

“Apa?” bukannya gerbang ada dibawah tadi ya?” pikirku kebingungan.

Namun ternyata gerbang awal sebenarnya masih diatas sana dan kami pun belum juga menggapainya. Tak perlu mengeluh sebenarnya karena ini yang kami inginkan sendiri. Katanya rindu mendaki? Rindu kebersamaan ini? jadi berusaha menikmati perjalanan adalah hal yang paling ampuh untuk sejenak melupakan beratnya jalur yang akan dilewati nanti.


--10.50--
“Woyooooo…..gerbang nih, ayo cepetan..” teriak mas Fahmi yang nampak selonjoran santai dibawah pohon rindang diatas sana. Aku yang masih terseok seok menapaki tanjakan nampak iri melihatnya dan segera menambah kesempatan agar segera dapat menikmati gaya dari Mas Fahmi di bawah pohon.
Dari semula perkiraan yang hanya 1 jam untuk mencapai Gerbang, kami tempuh hampir 2 jam. Semua tertawa akan kenyataan ini, karena memang jika kami sudah berjalan bersama sama waktu tempuh akan menjadi 2 kali lipat. Bercanda, duduk duduk dan bahkan tidur di jalur adalah hal yang biasa kami lakukan dalam pendakian.

Selepas dari gerbang jalur hutan rindang masih senantiasa menjadi peneduh bagi kami. jalurnya masih tetap menanjak tanpa ada dataran sama sekali. Sesekali kami harus berhenti sekedar untuk meluruskan kaki dan mengambil nafas sebelum melangkahkan kaki kembali.




--12.10--
Langkah kaki terhenti disebuah Gubuk yang lumayan besar dan bertuliskan Pos 1. Suasana teduh menguar, kami seakan memasuki ruangan berpendingin udara. Tak tahan dengan godaan ini akhirnya aku melepaskan keril dan menggelatakkan badan di gubuk sederhana ini. Begitupun dengan teman teman yang lain nampak mengikuti dan merebahkan badan untuk melepas lelah.

“Itu lihat jauh disana…” nampak Bembeng menunjuk dataran tandus, berbatu batu

“Ada orang berjalan jalan…mungkin itu yang namanya pasar bubrah”

Ahhh masih jauh sekali pikirku, di depan masih ada Pos 2 yang entah berapa jam lagi kita gapai.

Tak beberapa lama dari pos 1 penampakan jalur nampaknya mulai berubah. Hutan hutan rindang mulai memudar digantikan dengan sebaran cantigi yang tak begitu tinggi tumbuhnya. Jalur tanah juga berubah menjadi batu batu berbagai macam ukuran dan berserakan kemana mana, namun ada satu yang masih tetap setia menemani yaitu tanjakan curam.

Sesekali kami harus berpegangan pada bebatuan yang ada dan sedikit merangkak untuk terus bergerak maju. Ada tanya dalam hati ketika melalui jalur berbatu ini. Dari mana asala bebatuan ini? apakah dari sisa sisa letusan merapi pada dahulu kala? Jika iya pasti dahsyat sekali letusan gunung ini pikirku.

Dan apa jadinya jika kami yang merangkak di bebatuan ini terseret lahar letusan? Pasti binasa, karena memang kami manusia tak ada apa apanya jika sudah berhadapan dengan alam. Kuasa Sang Pencipta sungguh luar biasa.


Kabut mulai menghadang

--13.20--
Kabut mulai memeluk ketika kami sampai di Pos 2, hanya ada warna putih kegelepan dimana mana. Nafas yang terengah engah menapaki tanjakan berbatu sedari pos 1 tadi sukses membuat kami semua terkapar. Begitu pula aku setelah menaruh keril matapun terpejam, tak begitu lama memang aku terpejam namun cukup memulihkan tenaga yang sedari tadi terforsir. Dan bagiku jika aku sudah mulai terlelap di antara rerumputan dan bebatuan bisa aku simpulkan jika semesta sudah menerimaku.

Dari pos 2 nampaknya perjalanan tinggal sedikit lagi, karena bayangan hitam berbalut kabut pekat sudah semakin mendekat, ya diatas sana itulah Pasar Bubrah. Jalur mulai melandai di Pos 2 namun tak seberapa jauh tanjakan terakhir nan tajam siap menyambut kami.

Menapaki tanjakan ini aku bersama Mas Eko, Mbak Dwi, dan Septi berjalan paling belakang sembari menikmati panorama mistis nan epic karena ada kabut dimana mana memeluk kami. Kamera aku keluarkan untuk mencoba merekam dan memotret semua panorama. 3 sampai 5 langkah aku berhenti memandang dengan seksama, menikmati semua. Tak perlu terburu buru karena proses adalah menikmati proses adalah hal terbaik daripada hanya mengejar satu tujuan.

 
Tanjakan terakhir sebelum Pasar Bubrah


--15.00--
Langkahku ku pun terhenti di sebuah dataran penuh dengan batu berbagai ukuran yang berserakan. Inilah “Pasar Bubrah” yang dalam bahasa jawa berarti Pasar yang berantakan. Penamaan yang unik namun bisa mempresentasikan bagaimana keadaan yang sebenarnya disini, “Benar benar berantakan”.

“Bayangkan jika batu batu ini berhamburan menerjang dan jatuh diantara kita ya..” ujarku sambil bercanda kepada yang lain.

“Hussshh, jangan omong gitu ahh..” kata Vero dengan muka serius.

Dan sekali lagi aku terbayang ketika Gunung paling aktif di Pulau Jawa ini sedang murka, bagaimana huru hara yang terjadi disini, jelas tak ada yang selamat dari amukan Merapi. Namun yang pasti ada doa didalam hatiku agar kami semua diberi keselamatan disini di Pasar Bubrah, karena kami hanya ingin lebih dekat memahami, menikmati Kuasa Sang Ilahi. Ditambah kami yang ingin melepas rindu bisa berdekatan untuk berdekatan dengan ketinggian Gunung.

Puncak merapi tak menampakkan wujudnya karena memang kabut pekat masih menyelimuti. Berjalan perlahan mencari sudut terbaik untuk mendirikan tenda sebelum hujan mulai menerjang. Tanah datar diantara dua buah batu besar menjadi pilihan kami, tak ada kelompok lain hanya ada kami saat itu, menjadikan kami sangat leluasa memilih tempat.




--17.00--
Sebelum senja menjelang tiba tiba kabut perlahan menghilang berganti sinar matahari jingga. Perlahan juga puncak Merapi menampakkan wujudnya. Gagah nan penuh misteri ketika aku memandangnya dari Pasar Bubrah. Suasana hatinya yang tak bisa ditebak, kadang Merapi bersahabat seperti saat ini namun tiba tiba pun bisa murka dengan dahsyatnya. Namun itu adalah sebuah pertanda bagi semua orang yang tinggal di lereng lerengnya agar mereka selalu menghormati dan bisa hidup berdampingan dengan Sang Merapi.
 
Hanya ada kami


--05.00--
Udara dingin menyapa kami semua pagi itu, tak ada kabut yang menghalangi senyuman dari Puncak Merapi. Diseberang sana senyuman manis pun ditampakkan oleh Gunung Merbabu. Terdiam di depan tenda aku memandang jauh ke atas sana, nampak kilatan cahaya senter dari para pendaki yang terseok seok ingin menggapai puncak Merapi.

Melihat semua itu ada keinginan untuk bergabung menjadi para pendaki pemburu puncak yang rela jalan terseok seok, bercumbu dengan pasir, dan tujuan akhirnya adalah puncak. Ahhh… bukankah itu tujuan mendaki gunung? Untuk mencapai puncak bukan?

“Yukk mas kita naik ke puncak… paling cuman sebentar itu” ajak Bembeng sedikit merayu

“Iyaa…ayukk, pengen tau aja gimana..nanti kalau ga kuat dan bahaya kita langsung turun” ujar Mas Eko menambahi.
Ego dan hasrat untuk menggapai puncak pun timbul namun tiba tiba ingatan akan seorang pendaki yang terjatuh ke Kawah Merapi kapan hari mulai merasuk di kepala. Berjalan perlahan menjauh dari tenda aku melihat papan peringatan berderet berjarak sekitar 20 meteran “Stop, berhenti disini batas aman pendakian” menengok ke belakang pun nampak sebuah papan kayu bertuliskan “Disini lebih baik aman, Satu orang terasa banyak, Jangan tambahkan lagi, Jiwa jiwa yang mati sia sia”.



Melihat semua itu apakah engkau masih menuruti ego dan hasratmu? Aturan di buat bukan untuk kita langgar. Biarlah mereka yang merayap di depan sana tetap menggapai puncak, menasbihkan dirinya menjadi yang terhebat dan memperlihatkan pada semua jika mereka telah sukses menjejakkan kaki di Puncak Merapi. Namun aku harus tetap diam disini merelakan dan mengubur impian tentang puncak.

Puncak adalah sebuah pencapaian terbesar seorang pendaki, menjadi sebuah kebanggaan. Namun sesungguhnya puncak tertinggi itu diselimuti oleh selubung ego tak kasat mata. Karena mendaki hakikatnya bukan hanya tentang puncak karena sesungguhnya perjalanan dan kebersamaan adalah pencapaian sesungguhnya. Apalagi kami semua kesini hanya untuk melepas rindu akan ketinggian, jadi tak sepantasnya kita mengesampingkan keselamatan diri.

“Ayokk…kita mendaki bukit yang ada disana saja” ajakku pada kawan lainnya.

“Sepertinya sunrise disana lebih indah, dan pasti pemandangannya tak akan kalah dengan puncak diatas sana”


Gunung merapi dengan Pasar Bubrahnya mengajarkan bagaiamana untuk bisa menahan ego, hasrat diri dan yang pasti mengajarkan kita semua untuk bagaimana caranya lebih bisa bersyukur. Puncak yang tertahan bukan untuk kita sesali namun lebih bagaimana cara kita untuk mensyukurinya.

Merapi menguji kami dengan tanjakan, suhu, cuaca yang berganti ganti, dan puncaknya yang tak bisa kami gapai. Namun merapi mempunyai cara tersendiri untuk membayar semua lelah kami. Semburat jingga matahari perlahan menampakkan sinarnya di sebelah timur. Nun jauh disana nampak Gunung Lawu menyapa, menengok ke kiri dengan gagahnya Gunung Merbabu seakan menantang kami untuk menaklukkanya. Dan dari sini pula senyuman Sang Puncak Merapi tampak sangat anggun.

Kami ber delapan sudah dalam posisi, berdiri berjejer diatas pasir lembut berlatar Gagahnya Gunung Merbabu. Seorang pendaki yang aku mintakan tolong untuk memotret gaya kami pun telah siap. Oke semua Siap? 1…. 2…. 3…. Kami semua tersenyum sumringah dan jepret jepret. Canda tawa pun lepas bergema di hadapan alam yang luas.





You Might Also Like

0 komentar

Followers

Contact Form