featured Travelling

Pesan Lestari Dari Desa Waerebo

12/06/2017setapakkecil


Sekumpulan bocah bocah kecil berlari larian larian mengejar bola yang menggelinding. Sebuah halaman depan rumah mereka sulap menjadi tempat bermain mengasikkan. Wajah wajah ceria nan polos menghiasi wajah mereka. Orang orang tua yang ada disekitar nampak tengah sibuk mempersiapkan sebuah panggung mini dengan beberapa perlengkapan pengeras suara.

Begitu kami melangkah mendekat wajah wajah yang tengah sibuk akan pekerjaannya kini memalingkan muka dan menabar senyum paling ramah yang mereka miliki kepada kami para pendatang. Sambutan awal yang sangat membekas dihati dan menjadi awal bagi kami untuk menaruh hati di Desa Waerebo.

Diatas ketinggian 1200 meter diatas permukaan laut menjadikan desa kecil ini terasa terpencil dan seakan menyatu dengan alam. Kabut sering kali turun menyelimuti desa karena memang desa ini berada di lembahan dari gunung gunung yang mengelilinginya. Suhu udara yang ada pun kebanyakan turun, namun diantara suhu yang dingin itu Waerebo menyimpan kehangatannya tersendiri. Bukan karena sinar matahari atau tungku tungku diatas api melainkan karena penduduk Waerebo itu sendiri. Senyuman dan keramah tamahan penduduk Waerebo yang menyambut kami membuat suasana hangat menguar.

“Saya Pak Alex, ketua adat penduduk Waerebo” dengan senyum lebar menyambut kedatangan kami sore itu. Setelah berkenalan dengan rombongan kami Pak Alex pun melakukan upacara penyambutan untuk kami para tamu. Upacara penyambutan yang diistilahkan oleh penduduk setempat adalah ritual Pa'u Wae Lu'u berguna untuk meminta izin dan perlindungan kepada roh leluhur terhadap tamu yang berkunjung, hingga meninggalkan kampung tersebut. Jadi sebelum ritual ini dilakukan pengunjung dilarang untuk melakukan aktifitas di areal Wae Rebo termasuk mengambil gambar.

“Dan sekarang kalian semua sudah menjadi bagian dari Waerebo, penduduk dari Waerebo, silahkan beraktifitas dan menikmati suasana di desa kecil ini” begitulah kata kata terakhir yang disampaikan Pak Alex yang ditutup kembali dengan senyuman hangatnya.

Kami pun diantar menuju ke “Mbaru Niang” atau rumah adat warga Waerebo oleh salah satu penduduk. Selama satu malam ini kami akan membaur dengan keluarga yang mendiami salah “Mbaru Niang”. Lagi lagi sambutan hangat dan senyuman ramah menyambut kedatangan kami. Satu persatu duduk dan mulai memperkenalkan diri. Teh dan kopi panas pun menjadi sajian pembuka untuk kami. Obrolan obrolan ringan pun mulai terlontar satu sama lain. Dan aku pun banyak bertanya mengenai Rumah dengan bentuk unik nan ikonik yang membuatku takjub.

Kami Dengan Pak Alex Setelah Acara Penyambutan
“Mbaru niang” berbentuk melingkar kerucut dengan atap rumbia atau daun lontar dibangun secara tradisional dan swadaya lokal. Rumah ini mempunyai tiang utama yang besar dan di tengah rumah terdapat perapian. Mbaru niang terdiri dari 5 tingkat yang semua ditutupi atap dan menjadi sebuah kerucut. Di tingkat pertama, lutur, atau tenda adalah tempat tinggal penghuninya. Di tingkat kedua, lobo, atau loteng ialah tempat menyimpan bahan makanan dan barang. Tingkat ketiga ialah lentar yang berfungsi menyimpan benih jagung dan tanaman untuk bercocok tanam lainnya. Tingkat keempat ialah lempa rae, yaitu tempat untuk menyimpan stok cadangan makanan yang akan sangat berguna saat panen dirasa kurang berhasil. Sedangkan tingkat kelima, hekang kode, yaitu tempat menyimpan sesajian untuk para leluhur. Hanya ada 7 rumah di Wae Rebo dan 1 rumah bisa di tinggali hingga 6 kepala keluarga.


***

Sekali lagi untuk mencapai suatu tempat yang indah itu memang perlu perjuangan. Namun percayalah diakhir perjalanan nanti semua perjuangan akan terbayar lunas. Hal ini juga berlaku untuk perjalanan ke Waerebo, butuh perjalanan yang sangat panjang untuk akhirnya dapat menjejakkan kaki di desa yang selalu berselimut kabut ini.

Awal mula perjalanan adalah dimulai dari Labuan Bajo yang terletak di ujung barat Pulau Flores. Pagi pagi sekali aku memulai perjalanan, elf berisi 13 orang yang kami tumpangi pun melaju meliuk liuk melewati jalanan Trans Flores yang terkenal akan keganasan jalur berkeloknya. Dan benar saja, tak lebih dari satu jam akhirnya aku dan 2 orang teman silih berganti memuntahkan hasil sarapan tadi pagi yang berada di dalam perut. Mungkin ini adalah akibat aku terlalu banyak melihat layar handphone selama di perjalanan.

Pemandangan sepanjang jalur sangat indah dipandang, jalur meliuk liuk bak ular panjang yang melewati ratusan bukit yang menjulang di Pulau Flores. Namun berhubung aku sudah mabuk, aku lebih banyak memaksa mata untuk terpejam untuk melupakan pusing yang mendera kepala.

Kota kecil bernama Denge adalah tujuan kami sebelum masuk ke kawasan Waerebo. Butuh waktu 7 jam dari Labuan Bajo untuk mencapai Denge. Mungkin Denge pun tak pantas untuk aku sebut kota, lebih pantas sebagai kecamatan kecil yang ada di pelosok Pulau Flores. 5 km sebelum mencapai Denge kami berhenti sejenak di Dintor untuk mengisi perut sebelum melakukan pendakian menuju Waerebo.


Satu satunya tempat makan selama di perjalanan
“Yukk bayar dan segera berangkat agar nanti kita tak kemalaman sampai di Waerebo” ajak Si Vero kepada kami semua yang nampak berdiam diri karena perut yang terisi penuh.

“Berapa harga per orang ini ve?” tanyaku pada Vero

“60 ribu per orang mas” sahut si Vero berbisik pelan sambil nyengir.

“Hahh…Gak salah denger??”

Harga yang mungkin menurut kami semua terlampau mahal untuk ukuran dompet kami dan menu yang disajikan hanya sekedar Nasi, Ayam goring, tempe, dan urap urap. Namun jika kita melihat dari sisi lain yaitu Dintor yang sangat terpencil dan jauh dari peradaban kota besar, apalagi hanya di Waerebo Lodge ini yang sanggup menyediakan makan siang kami karena tak ada rumah makan lainnya di Dintor maka harga 60 ribu sekali makan adalah harga yang menurut kami sah sah saja dan sebanding.

Dari Dintor jalanan terus menanjak hingga sampai ke Denge. Suasana dan udara pegunungan pun dapat kami hirup keberadaannya. Sopir elf kami terus menginjak pedal gas dalam dalam hingga akhirnya jalanan aspal menemui ujungnya. “Okee, mas dan mbak cuman sampai sini elf kita bisa masuk, selanjutnya silahkan untuk jalan kaki” Kata sang sopir elf.

Untuk menghemat tenaga kami menggunakan jasa ojek yang sudah menunggu ditempat elf kami berhenti. 20 ribu untuk sekali jalan adalah harga yang ditawarkan. Aku pun setuju saja karena jika berjalan kaki kita nampaknya butuh waktu 30 – 60 menit untuk berjalan di jalur menanjak hingga sampai di pos 1. Dari pos 1 perjalanan sesungguhnya baru akan dimulai. Jalanan lebar mulai menghilang berganti dengan setapak kecil yang mulai menanjak diantara lebat hutan.



Pada awal perjalanan jalur langsung menanjak tajam membelah hutan yang masih rapat dan tampak terjaga keasriannya. Fisik yang kurang berolahraga dibuat kepayahan menghadapi jalur yang seperti ini. Pelan tapi pasti langkah kaki kami pun semakin jauh melangkah. Diselingi dengan obrolan ringan dan canda tawa langkah kaki yang awalnya berat menjadi semakin ringan dan melupakan beratnya jalur yang membentang.

Dengan ditemani 2 orang guide salah satunya bernama Aris, akhirnya kami semua sampai di Pos 2 setelah berjalan kurang lebih 1 jam. Kabut masih setia menyelimuti dan menemani. “Kalau lagi cerah dari sini pemandangannya indah banget mas, bisa kelihatan laut juga di kejauhan” cerita dari seorang guide yang wajahnya sama sekali tak nampak raut kelelahan.

“Gimana masih semangat? Jalan lagi yukk….!!! Ajakku menyemangati yang lain.


Jalur setapak masih tetap sama meliuk diantara hutan hutan lebat, namun kali ini tanjakan yang disajikan lebih bersahabat dan terkesan datar. Langkah kaki kami pun semakin cepat saja. Dalam hati aku ingin cepat cepat melihat bagaimana keindahan Desa Adat Waerebo itu, sudah tak sabar rasanya. Mungkin rasa itu juga yang dirasakan kawan kawanku yang lain saat ini.

Dan semakin tak terasa akhirnya kami pun tiba di Pos terakhir sebelum benar benar masuk ke Desa Waerebo. “Selamat Datang Di Waerebo” begitulah papan kayu besar itu tertulis. Dibawahnya terdapat beberapa himbauan yang harus kita patuhi dan pahami.

“Tokk…tokkk…tokkk…tokkk…” suara nyaring terdengar dari kentongan bambu di dalam pos yang Mas aris bunyikan.

“Buat apa mas itu dibunyikan?” tanyaku pada mas Aris yang masih memukul kentongan.

“Ini tanda pemberitahuan untuk para penduduk di bawah sana, jika akan ada tamu yang datang berkunjung”



Menarik pikirku, suasana awal yang sangat membekas dihati. Kaki pun kami langkahkan mengikuti jalur setapak kecil yang mengarah kebawah. Dalam perjalanan ke bawah kabut yang semula pekat perlahan lahan terangkat keatas dan menampakkan keindahan Desa Waerebo, sebuah desa yang berada diantara awan.

Nampak dikejauhan para penduduk Waerebo sedang sibuk mempersiapkan acara untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke 72 esok hari. Suasana tampak meriah daripada biasanya di Desa Waerebo ini. Yang semula suasana terasa sepi kali terasa lebih ramai karena para penduduk semua berkumpul ditambah tamu tamu yang ingin merasakan suasana kemerdekaan di desa nan indah ini.

............
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya….

Tak terasa air di pelupuk mata meleleh membasahi pipi selepas lagu Indonesia Raya berkumandang. Perasaan bahagia, haru, bangga, senang bercampur aduk semuanya. Karena tak pernah terbayangkan sebelumnya jika hari ini tepat di Hari Kemerdekaan Indonesia aku bisa berdiri di desa terpencil, jauh di pedalaman tapi tetap menjaga semangat dan juang untuk Negara tercinta ini, Indonesia.

Upacara Bendera Di Waerebo (Sumber)
Sang saka merah putih tertancap gagah di tiang tertinggi diatas rumah Mbaru Niang. Berkibar bebas diatas tangan tangan yang masih setia mengepal memberikan kehormatan untuk Sang Saka. Tak seperti proses pengibaran pada umumnya, pengibaran bendera di Mbaru Niang ini menggunakan kayu panjang yang di panjat oleh beberapa warga yang kemudian mengibarkan bendera di ujung Mbaru Niang.

“Terima kasih atas kedatangan para tamu yang saya hormati disini. Dari ujung barat sampai ujung timur kita semua ini adalah saudara. Dan disini di Waerebo semoga rasa akan bangga akan Indonesia menjadi semakin kuat” sedikit kutipan dari pidato yang disampaikan Pak Alex ketua adat Desa Waerebo. “Merdekaaa….. merdekaa….” Pekik kemerdekaan membahana diseluruh penjuru langit Waerebo pagi itu.  Bulu kuduk disekujur tubuh tiba tiba merinding mendengar pekik kemenangan itu.

Pengibaran Bendera Di Atas Mbaru Niang
Seusai upacara bendera kami pun langsung membaur satu sama lain di lapangan utama. Saling bernyanyi lagu lagu kebangsaan dengan anak anak Waerebo yang selalu semangat dan menebar senyum polos diwajah wajah mereka. Berlarian kesana kemari dan sesekali menggandeng tangan kami untuk ikut bermain dan bernyanyi bersama mereka. Tersirat dari sinar mata aku yakin jika kelak anak anak ini yang akan senantiasa menjaga adat istiadat dan kelestarian di Waerebo.



“9 Tahun lalu Desa kami Waerebo baru dikunjungi oleh anak bangsa negeri sendiri, sebelumnya hanya orang luar yang datang kesini” begitulah penuturan dari Pak Rolasius salah satu penduduk Waerebo. Kedatangan tamu pertama dari dalam negeri itu yang kini menyelamatkan Desa Waerebo. Karena sebelum itu waerebo terancam kehilangan Mbaru Niang yang menjadi identitas, karena mengalami kerusakan dimakan zaman.

Melihat kondisi Wae Rebo yang sudah sekarat, pengunjung bernama Yori Antar dengan Yayasan Rumah Asuh yang dimilikinya berupaya untuk mengembalikan keadaannya kembali sehat. Bantuan dari swasta dan pemerintah serta beberapa donatur mulai mengalir, mereka tergerak untuk menyelamatkan Wae Rebo.

Tahun 2010, dua rumah kerucut yang sudah sekarat direnovasi. Selanjutnya tahun 2011 tiga rumah kerucut yang sebelumnya hilang dibangun kembali. Akhirnya Wae Rebo memiliki tujuh rumah kerucut lagi seperti sedia kala. Tahun berikutnya dua rumah lagi direnovasi, sehingga sekarang ketujuh rumah ini dalam kondisi yang baik.



Dan kini semakin datangnya para wisatawan adalah penyelamat dari Desa Waerebo itu sendiri. Wae Rebo terus berbenah dalam menerima tamu. Untuk menata administrasi pariwisata mereka membentuk Lembaga Pariwisata Wae Rebo (LPW). Dari lembaga ini ditentukan tarif untuk bermalam di Wae Rebo sebesar Rp 250 ribu sudah termasuk 3 kali makan. Jika tidak menginap pengunjung membayar retribusi Rp 100 ribu.

Sebagian orang menganggapnya terlalu mahal untuk membayar sebesar itu. Tapi saya rasa uang sebesar itu cukup wajar mengingat bahan makanan yang kita lahap saat di sana harus diambil dari desa di bawah yang jaraknya sekitar 9 km lebih. Mereka harus memikul beras dan kebutuhan pokok lain mendaki gunung untuk sampai kembali di Wae Rebo.



Dan yang aku suka dari Waerebo adalah mereka tetap senantiasa menjaga adat istiadat yang mereka punyai. Mulai dari awal kita datang untuk melakukan upacara penyambutan, larangan larangan yang tetap terjaga, hingga mata pencaharian mereka sebagai petani kopi dan pengrajin kain songke pun seakan tak terpengaruh dengan wisatawan yang lebih menawarkan peradaban. Semuanya berjalan seperti biasa dan sewajarnya saja.

Aku sempat termenung lama disebuah pelataran Mbaru Niang. Berimajinasi tinggi, ditemani matahari yang sudah mulai meninggi. Aku berharap semua ini yang ada disini kedepan tetap akan lestari. Karena dikesederhaan Waerebo aku melihat banyak kebahagian dan kehangatan. Kisah kisah panjang disini seakan mengantri untuk aku ceritakan kepada kalian kawan. Dan terakhir, coba langkahkan kaki kesini dan rasakan kehangatan Waerebo.

You Might Also Like

0 komentar

Followers

Contact Form