Travelling

Siang Itu Di Kaohsiung, Taiwan

7/13/2017setapakkecil


Deretan gedung gedung pencakar langit nampak gagah berdiri menyambut kapal kami yang merapat di sebuah dermaga pelabuhan Kota Kaohsiung. Bertajuk kota terbesar di daratan Taiwan menjadikan Kaohsiung kota yang terasa akan aura moderenitasnya.

“Apa kita bisa turun?, kan di Taiwan perlu apply visa dulu buat kita WNI?

“Don’t worry, kalian tak perlu visa untuk turun. Ada pengecualian untuk para penumpang Kapal Pesiar” Begitulah kira kira perkataan dari seorang kru kapal yang menenangkan kekalutan kami saat itu.


Di saat semua orang luar yang akan masuk Taiwan dan dengan transportasi apapun harus mempunyai visa terlebih dahulu (Tidak ada visa on arrival). Untuk pemegang visa Schengen, US, Jepang, Atau Inggris sedikit diberi sedikit keistimewaan dengan bisa apply visa via online. Kami para penumpang Kapal Pesiar tak perlu repot dengan dokumen dokumen visa tersebut, tinggal “lenggang kangkung” cukup dengan paspor saja kami sudah bisa menginjak daratan Taiwan.

Pemerintah Taiwan memberi keistimewaan untuk para penumpang Kapal Pesiar yang bersandar di negerinya. Mungkin piker mereka para penumpang Kapal Pesiar adalah orang istimewa berkantong tebal yang akan membawa dampak besar bagi para pelaku wisata yang didatangi kapal pesiar. Tapi kenyataan saat ini adalah ada beberapa manusia di yang keluar dari kapal dengan kantong kempes, seperti aku ini.



***


Please, take us to River Love” Mas Zudi berkata kepada sopir begitu kami semua masuk ke dalam taksi. Tapi sang sopir nampak diam saja.

“R-I-V-E-R-L-O-V-E” aku mengulang dengan perlahan ejaan itu dan si Masaul pun menunjukkan peta yang ada di brosur hasil pemberian mbak mbak cantik di pelabuhan tadi.

“Do you understand?” Mas Zudi kembali bertanya kepada sopir.

Kali ini sang sopir pun menanggapi dengan acungan jari yang menandakan “Oke”. Sudah bisa ditebak jika sang sopir tak bisa berbahasa Inggris. Namun dalam hati aku yakin dia sudah memahami dan akan mengantar kami ke Love River.
Taksi melaju kencang meninggalkan area pelabuhan dan memasuki jalanan utama Kota Kaohsiung. Kota yang besar namun jalanan nampak sangat lenggang untuk seukuran kota yang katanya terbesar kedua di Taiwan, tak ada macet dan kesemrawutan semua nampak teratur layaknya kota modern.

Keasyikan melihat keadaan sekitar kami pun tak sadar jika arah taksi menuju ke tempat yang salah. Lambat laun taksi memasuki jalanan menanjak ke perbukitan. Padahal menurut peta yang ada di brosur kepunyaan Masaul, Love River berada di tengah perkotaan Kaohsiung.

Kami salah jalan, dan sang sopir pun sedari awal tak paham kemana arah tujuan kami. Taksi pun kami berhentikan paksa, dan mulai mencoba memberi pemahaman kepada sang sopir. Sia sia, karena sopir taksi tak bisa sama sekali berbahasa inggris. Tapi tiba tiba sopir ini mengambil sebuah handphone dan menelepon bagian kantor taksi itu dan menyerahkan telpon itu kepada kami.

Pak Sopir Taksi
“Hallooo…kalian mau kemana?” Sapa orang dibalik telepon, dan kali ini nampaknya bisa berbahasa inggris dengan fasih.

“Kami ingin ke Love River, tapi kami lihat kami semakin menjauh dari perkotaan dan naik ke bukit”… sahut mas Zudi menimpali panggilan telepon itu.

“Ohh yaa..nampaknya sopir kami salah paham, dia akan mengantarkan kalian ke Bukit Love. Mohon maaf atas kesalahan ini, tapi tenang saja kalian akan tiba di Love River beberapa menit lagi”.

Di tengah kekacauan di dalam taksi aku menaruh rasa salut untuk perusahaan taksi ini. Di tengah para sopirnya yang aku rasa kurang Friendly untuk para turis seperti kami ini namun pemecahan masalah karena Bahasa bisa mudah diselesaikan. Aku pun tak yakin di Indonesia perusahaan taksi saat ini ada yang seperti ini.

***

15 menit setelah kami tersasar kami akhirnya berhasil turun di tepian Love River. Sungai yang sangat terkenal di Kota Kaohsiung yang saat ini berpredikat “Must Visit”. Belum ke Kaohsiung jika belum ke ‘Ai He’ sebutan orang local untuk Love River ini.

Love River hanyalah sungai biasa, yang kalau dilihat sekilas tidak terlalu istimewa. Namun dengan sistem tata kota dan dekorasi yang menarik, termasuk lampu-lampu cantik yang menghiasi malam hari, jangan heran bila menemukan banyak orang berjalan menyusuri kedua sungai ini. Love River, yang mengalir menuju Kaohsiung Harbor, memiliki pedestrian walk yang nyaman dan luas yang membuat siapa saja yang berkunjung betah untuk berlama lama di tepian sungai.


Perahu wisata juga terdapat di beberapa dermaga yang ada. Dengan membayar 60 HKT kita bisa menyusuri aliran dari Love River ini. Namun karena memang kita ini turis dengan kantong tipis harga segitu nampaknya cukup sayang untuk dikeluarkan. Cukuplah berjalan jalan di tepian sungai saja, hal sederhanan namun menjadi pengalaman yang tak terlupakan.

Nampaknya Love River ini akan menampakkan keindahan yang sesungguhnya pada malam hari, hiasan lampu pasti akan mempercantik setiap sudut dari love river. Walaupun kami datang pada siang hari Love River masih menawan hati kami, dan membukakan mata jika aliran sungai yang dahulunya tercemar seperti Love River ini bisa ditata sedemikian rupa dan menjadikan ikon kota Kaohsiung. Kalau Taiwan bisa kenapa Indonesia tidak!



Berjalan menyusuri sungai yang panjang seperti ini mungkin tak ada habisnya, hingga kami tiba di perempatan jalan yang diseberangnya muncul bangunan tua gereja diantara gedung gedung yang lebih modern.

“Holy Rosary Cathedral” begitulah tulisan di papan nama yang terpasang tepat di pintu masuk. Disampingnya juga terdapat sebuah papan yang berisi informasi tentang gereja tua satu ini. Ternyata gereja yang ada di hadapan ini adalah gereja tertua yang ada di Taiwan yang berdiri sejak tahun 1860. Namun sayang pada saat itu kami tak bisa masuk ke dalam gereja karena pintu yang terkunci rapat.

Sekilas memang tak sebesar gereja gereja yang aku lihat sebelumnya di Manila, namun gereja kecil ini menyimpan banyak sekali sejarah tentang penyebaran agama katholik di daratan Taiwan.

Holy Rosary Cathedral

***

Siang hari itu udara nampak sangat menyengat, berjalan kaki dengan berkeliling seperti ini cukup membuat kaki pegal dan berkeringat juga. Namun masih banyak tempat yang bisa kami kunjungi saat itu, sayang jika waktu di Kaohsiung hanya kami pergunakan untuk duduk duduk saja.

“Cari di Google dong, tempat mana lagi yang menarik untuk di kunjungi..” pintaku kepada kawan kawan yang sudah nampak kepanasan.

“hmmm… sebentar, di deket sini ada museum kereta” Sahut Masaul.

“Yukk kesana yukk…” sambung mas Zudi yang memang railfans sejati.

Dengan menaiki taksi kami tiba di museum yang bernama “Takao Railway Museum”. Berhubung museum ini gratis tanpa tiket masuk kami semua pun langsung ngacir masuk ke dalam. Sekilas museum ini adalah sebuah stasiun tua yang dirombak dan dijadikan museum, nampak bangunan stasiun masih dipertahankan.



Di dalam terdapat 2 buah rel memanjang dan diatasnya terdiam beberapa lokomotif tua dilengkapi dengan papan informasi asal dan tahun pembuatan. Hanya ada beberapa biji lokomotif dan gerbong saja yang dapat kami lihat dan itu pun dalam keadaan kurang terawat. Dalam hati pun berkata “Museum kayak begini aja sih di Indonesia lebih bagus, jauh lah kalau dibandingkan sama museum kereta di Taman Mini atau di Ambarawa”.

Masih bagusan Taman Mini atau Ambarawa
Dari dalam museum dengan sedikit memicingkan mata aku lihat ada sebuah lapangan luas dengan banyak orang berkerumun di seberang sana. Spontan aku pun mengajak kawan kawan yang lain untuk melihat kesana dan kebetulan tempat itu hanya bersebelahan dengan museum kereta ini.

Dan ternyata lapangan dan kerumunan orang yang aku lihat tadi adalah sebuah taman dengan bernuansa kereta juga, namanya “Hamasen Railway Cultural Park”. Usut punya usut tempat ini adalah bekas stasiun central yang sangat bersejarah bagi dunia perkereta apian di Taiwan. Sebelum digusur oleh keberadaan MRT.

Pada masa jayanya dahulu kereta di Taiwan adalah transportasi yang sangat diandalkan untuk perpindahan orang maupun barang. Tak ingin sejarah itu hilang ditelan waktu pemerintah kota Kaohsiung secara perlahan membangun kawasan ini menjadi pusat sejarah tentang kereta api di Taiwan.


Ada yang menarik perhatian di kawasan ini, mataku tertuju pada sebuah kereta berukuran mini yang hilir mudik ditumpangi para wisatawan local. Mereka duduk di atas kereta mini itu, setiap kereta akan lewat pintu perlintasan kereta yang berukuran mini pun menutup secara otomatis dan berbunyi. Sungguh unik dan mungkin hanya ada disini. Dalam hati pun ingin rasanya aku mencoba naik, namun apa daya karena umur yang tak lagi pantas untuk mencoba permainan ini.






Tak terasa hari semakin sore saat kami melangkah keluar dari Taman Hamasen, jarak dari pelabuhan memang tak begitu jauh hanya perlu berjalan beberapa menit. Seperti tak rela untuk terburu buru meninggalkan Kaohsiung, karena masih banyak tempat yang belum sempat aku kunjungi.

Namun apa daya karena perjalanan masih akan terus berlanjut. Mungkin dilain waktu dan kesempatan aku akan mengunjungi Kaohsiung kembali. Aku berdiri termenung diatas dek kapal melihat matahari terbenam, lampu lampu pun segera menggantikan peran dari sang matahari.

Kota Kaohsiung Di Malam Hari
Gemerlap Kota Kaohsiung pun memberi salam perpisahan seiring kapal yang bergerak perlahan meninggalkan pelabuhan. Semakin jauh dan jauh hingga gemerlap yang ada perlahan menghilang digantikan pekat malam di atas gelombang Samudra. Perjalananku masih akan terus berlanjut…..

You Might Also Like

1 komentar

Followers

Contact Form