Mountaineering Travelling

Melihat Sisi Lain Bromo Dari Puncak B29 dan B30

1/11/2017setapakkecil



“Jalan saja ikuti jalur setapak kecil itu keatas nak”

“Cuman 100 meter saja kalian sudah sampai di B29” begitulah kata sang ibu di warung kopi yang saat itu satu satunya yang buka di areal parkiran.  Belum sempat bertanya lebih jauh sang ibu kembali berkata

“Sebenarnya pemandangan lebih bagus di B30 nak, disana lebih tinggi jadi kalian bisa lihat sekeliling lebih puas, jalan kaki 30 menit dari B29”

Aku dan Mbak Dwi hanya mengangguk angguk sambil menyeruput teh panas segelas yang berada di tangan kami. Aku memperhatikan jam tangan yang menunjukkan pukul setengah 4 subuh, berarti masih sekitar 1,5 jam lagi matahari baru menampakkan sinarnya. Sesungguhnya pagi di Bulan November tak sedingin pagi di puncak musim kemarau yang jatuh antara Juli – September. Namun entahlah semua dari kami berempat nampak sangat kedinginan di Desa Argosari Kabupaten Lumajang ini.

Begidik bulu kuduk merasakan hembusan angin yang masuk diantara kayu kayu lapuk warung. Aku gosok gosokkan jemari tangan sembari meneguk kembali sisa teh yang kini sudah menjadi dingin. Diantara lubang dinding warung mataku menerawang jauh, terlihat deretan kelap kelip lampu kota Lumajang di bawah sana. Aku pun tersadar jika kami sudah berada di ketinggian di lereng pegunungan Tengger.

“Berangkat saja yuk sekarang” Mbak Ana tiba tiba berkata

“Iya bener, daripada kita semakin kedinginan diwarung. Lebih baik kita berjalan agar tubuh menjadi lebih panas” kata Mas Farid menambahi. Sekarang jam 4 kurang, setidaknya kita sampai di B30 pas saat matahari terbit.

Kelap Kelip Kota Lumajang Dari Ketinggian
Tak banyak barang yang kami bawa, hanya beberapa botol minum dan beberapa bungkus camilan kecil karena memang kita bukan akan melakukan pendakian berjam jam dan berhari hari walaupun puncak yang akan kita tuju setinggi 2900 mdpl dan 3000 mdpl yang hampir sama tingginya dengan Gunung Gede 2958 mdpl dan Gunung Pangrango 3015 mdpl. Inilah asiknya kita mendaki di Pegunungan Tengger, tak banyak tenaga terbuang untuk berjalan dan bahkan dengan sepeda motor pun kita bisa mencapai Puncak B29 dan B30.

Kami berjalan saling mengekor, menyusuri jalanan menanjak selepas parkiran. Disebelah kiri sama samar terlihat pemandangan terbuka kawasan Bromo dengan lautan pasirnya yang tertutup mega tipis. Menengok ke kanan nampak punggungan bukit yang langsung menyajikan gemerlap lampu kota di kejauhan.


Bromo dan Lautan Pasirnya yang tertutup awan
Hanya sekitar 15 menit berjalan jalur menanjak sudah menemui ujungnya dan berganti dengan tanah lapang yang luas. Di antara kegelapan aku pun sudah bisa menebak jika ini puncak B29. Di salah satu sudut ada 1 kelompok anak muda sedang mendekap tangan masing masing menahan dingin sambil membentuk formasi lingkaran, sepertinya memang mereka berniat menunggu matahari disini.

Puncak tertinggi adalah tujuan kami sebenarnya berarti harus lebih jauh lagi kaki ini untuk melangkah. Samar samar dari kejauhan nampak puncak tertinggi itu yang terletak di ujung punggungan bukit dan langsung bersebelahan dengan lembah besar bernama Desa Cemoro Lawang yang ada di bawah.

Selepas B29 jalur kemudian menurun diantara semak semak setinggi betis orang dewasa. Tak beberapa lama semak belukar berganti dengan ladang sayuran yang menghampar diantara kegelapan malam dan berada di sisi lereng sebelah kanan. Dan mungkin ladang ini juga merupakan ladang tertinggi di Pulau Jawa bagaimana tidak posisinya hanya beberapa meter di bawah Puncak B29 yang mempunyai ketinggian 2900 mdpl.

Jalur sebenarnya relatif datar dan mudah dengan jalur yang lumayan luas untuk dilalui 2 sepeda motor. Sesekali mendaki dan menurun dengan kemiringan ringan. Udara di perjalanan terasa sangat segar. Aku coba hirup sekuat tenaga hingga terasa memenuhi kerongkongan lalu mengalir ke dalam paru paru lalu aku hembuskan kembali keluar hidung. Nampak asap tipis mengepul dari hembusan nafas yang menandakan suhu diluar memang benar benar dingin.



Langkah kaki semakin cepat beriring dengan sinar matahari yang semakin menyingsing. Nafas tersengal dengan peluh yang mulai keluar aku mencoba berteriak meluapkan kegembiraan mencapai puncak tertinggi B30. Mbak Dwi, Mbak Ana dan Mas Farid beriringan menyusul dari belakang. Raut wajah mereka nampak sama menyiratkan rasa kebahagiaan.

Saya meletakkan tas di sebuah disamping sebuah tugu trianggulasi dan melepaskan rasa lelah yang hinggap menjalar. Aku kemudian berdiri menghadap ke arah matahari mulai menampakkan diri. Semburat cahaya jingga menyinari tempat kami semua berdiri, halimun tipis yang menyelimuti kami pun nampak bergerak perlahan menyingkir dan kemudian membentuk lautan awan tepat di bawah kami berdiri.

Sang Semeru pun menyapa
Gunung semeru nampak gagah dengan Kawah Jonggring Saloko nya yang berkala mengeluarkan asapnya. Hiruk pikuk para penikmat pagi di puncak B29 pun terlihat dari sini. Menengok ke kanan guratan khas Gunung Batok dan jajaran pegunungan bromo nampak menjadi penghias sempurnanya pagi. Lampu lampu di Cemoro Lawang pun satu persatu mati menandakan penduduk tengger sudah akan memulai hari.

Tak seberapa lama ada beberapa rombongan ojek yang mengantarkan para tamunya yang tak ingin membuang tenaga dengan berjalan kaki. Turun dari boncengan motor mereka pun berlarian dibuat takjub dengan pemandangan yang ada. Ya sama seperti kami rasa takjub itu pun belum sirna sejak detik kami menginjakkan kaki di B30.

“Sampean mudun mrono mas, pemandangane luweh apik” Salah seorang pengendara ojek menyuruh kami semua untuk turun kebawah, yang katanya disana pemandangannya lebih bagus.




Dan ternyata benar adanya, sekali lagi aku terpana akan keindahan yang ada di depan mata. kali ini lautan awan begitu semakin nyata berpadu dengan deretan pegunungan Bromo di depan sana. Kaldera tengger pun terlihat seperti benteng besar yang mengurung awan awan lembut itu untuk pergi.

Terkesima kami semua menyaksikan sajian alam yang begitu luar biasa indah ini. Sekali lagi alam mengajarkan kita bagaimana untuk lebih bisa bersyukur. Deretan gunung gunung, semua lembah hijau yang menawan, dan bisikan pasir seluas samudera di depan sana dilukis, diukir dan kemudian diciptakan senantiasa dengan kasih sayang demi semua makhluk-Nya.



***


Dari pusat kota Lumajang kami mengikuti petunjuk arah menuju kecamatan Senduro. Kecataman di kaki pegunungan Tengger yang memiliki pura terbesar di Jawa Timur yaitu Pura Mandara Giri Semeru Agung. Tempat ibadah agung bagi para suku tengger yang tersebar tinggal diantara pegunungan bromo, tengger dan semeru.

Mulanya jalan beraspal mulus dan lebar kemudian mulai menyempit selepas kecamatan Senduro. Jalanan mulai menanjak dengan konstan seiring dengan makin melajunya kendaraan yang kami bawa. Untuk menuju puncak B29 tinggal mengikuti saja papan papan kayu yang sudah terpasang.

Walaupun jalanan terkesan kecil dan sempit untuk kendaraan namun kualitas aspalnya bisa aku katakan bagus. Tampak dibeberapa sudut jalan masih terparkir kendaraan dan mesin pengaspal jalan. Kawasan B29 sedang bergeliat, pemerintah Kabupaten Lumajang nampaknya sudah membuka diri dan sadar akan potensi wisata yang dimiliki B29. Jalan akses dibangun dengan baik, fasilitas untuk wisatawan lebih diperhatikan lebih lanjut. Ekonomi warga sekitar pun lambat laun akan lebih terasa denyut ekonominya.

“Selamat Datang Di Kawasan B29 Negeri Di Atas Awan” Begitulah tulisan masuk gapura masuk di Desa Argosari, desa terakhir sebelum kita tiba di Puncak B29. Argosari pun adalah titik terakhir dimana mobil bisa terus melaju, karena setelah Desa Argosari jalanan menuju puncak B29 melalui jalur sempit dan sangat menanjak. Hanya bisa dilalui oleh sepeda motor dan berjalan kaki saja.

Gapura Desa Argosari
Aku merasa lega ketika membuka pintu mobil dan turun menginjakkan kaki di Desa Argosari. Setelah perjalanan hampir 5 jam dari Surabaya ini adalah waktu meregangkan otot. Ada 2 cara sebelum kita benar benar menginjakkan kaki di Puncak B29. Yang pertama adalah jasa ojek dengan biaya antara 75 ribu – 100 ribu tergantung cara kita menawar. Dan yang kedua adalah dengan berjalan kaki tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Ojek adalah pilihan yang lebih bijak bagi kami yang datang dari jauh. Untuk lebih menghemat tenaga dan tentunya untuk mengejar terbitnya matahari yang merupakan daya tarik utama ketika berkunjung di kawasan pegunungan tengger ini.

Mesin motor meraung dengan kerasnya seiring dengan jalanan yang kian menanjak curam. Tanganpun respek memegang erat bodi motor agar tubuh ini tak melorot kebelakang. Gas dipacu dengan kencangnya meliuk liuk mengikuti jalur sempit diantara ladang ladang warga. Ada perasaan was was dan khawatir melihat jurang jurang yang menganga dalam nan lebar di sisi dan kanan.

Ojek Menuju Puncak B29
30 menit akhirnya jalan pun menemui ujungnya. Dilengkapi pagar pendek sebagai pengaman jurang yang ada di depan. Suhu dingin dan angin pun lebih bebas untuk membelai kita. Wujud Kaldera Tengger pun sudah ada di depan mata. Ucapan syukur pun aku panjatkan. Perasaan khawatir akan jurang sedari tadi diatas motor pun kini telah sirna.

“Sampean beruntung mas… cuacanya sangat cerah, padahal kemarin disini itu hujan terus” ujar sang pengendara ojek yang aku tumpangi.

“Alhamdulillahhh….” Sahutku menimpali.

“Sejak kapan B29 ini mulai dibangun pak? Tanyaku lebih lanjut.

“Baru 1 tahunan kebelakang ini mas, dahulu jalan kesini itu penuh lumpur jika musim hujan datang, berdebu dan sangat panas jika musim kemarau, pokoknya penuh perjuangan lah kalau mau ke B29 ini. kalau sekarang sih cuman setengah jam naik motor kita sudah sampai” ujarnya berkelakar.

Mendengar ceritanya aku bisa simpulkan kalau pembangunan yang dilakukan kini mulai menampakkan hasilnya. Para wisatawan tanpa perlu berpikir 2 kali untuk berkunjung, para pengojek pun lebih mudah dan tentunya pendapatan harian mereka akan naik, belum lagi para penjaja makanan di warung warung yang berderet pasti akan laku. Yang pasti ekonomi akan berjalan dengan pariwisata yang semakin maju.


Namun semua itu bukannya tanpa resiko. Membludaknya wisatawan yang datang sangat rentan akan sampah yang mulai terlihat menumpuk di beberapa sudut. Ini perlunya kesadaran kita sebagai pengunjung untuk lebih peduli masalah sampah dan tanggapnya pengelola agar lebih banyak disediakan tempat sampah dan rambu rambu larangan.

Dan lewat tulisan ini semoga keindahan yang ada di B29 bisa lebih dikenal oleh khalayak. Namun tentunya dari hati yang terdalam dengan semakin dikenalnya B29 berjalan lurus dengan keasrian yang ada di Puncak Tertinggi Kaldera Tengger ini. Suatu saat aku pasti akan kembali dan berharap keindahan yang ada tak akan pernah hilang. 

You Might Also Like

12 komentar

  1. Abang diktaaaaa, dari dulu sampe sekarang foto-fotonya selalu bagus ish :D

    ReplyDelete
  2. wah memang kalo tanpa Ojek butuh waktu berapa lama ya mas kira-kira ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. 1 - 1.5 jam an kayaknya ya mas..tapi kalo bawa motor sendiri sih bisa dibawa sampai atas, kecuali mobil cuman bisa sampai parkiran saja.

      Delete
  3. Mas. Disana udah ada penginapan/homestay nya ta?
    Kemaren masnya nyampai di desa argosari itu malam atau pagi. Akses kesana aman tidak? Terima kasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aman silahkan berkunjung mas.

      Delete
    2. Malem udah sampe sana mas, akses dan sarana sudah baik serta aman kok mas

      Delete
  4. Halo! Bolej tau, masnya pake kamera apa ya utk jepret foto2 diatas?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haloo mbak, aku pake kamera canon 650 D pakai lensa wide 10 - 22 mm

      Delete

  5. Wah bagus ceritanya, tapi apakah Anda akan mengganti cerita ini bila ternyata Anda bukanlah berada di ketinggian 2900 mdpl [puncak B 29] atau bahkan 3000 mdpl [puncak B 30]?
    Anda cobalah cari di Google Earth, tidak ada puncak di sekeliling Bromo dengan ketinggian 2900 bahkan 3000 mdpl.
    Puncak tertinggi di sekeliling Bromo adalah Penanjakan 1 dengan ketinggian 2756 mdpl.

    ReplyDelete
  6. Amazing, kata ini sudah cukup mewakili kekaguman kami di puncak B 29 saat matahari terbenam dan terbit sungguh mengagumkan. Petualangan mengesankan dari mendaki bukit dan mendirikan tenda di camping ground puncak b29 sungguh pngalaman dan petualangan yang tak terlupakan bagi rombongan kami

    ReplyDelete
  7. Kalo mau kesini baiknya diusahakan sampai parkir jam 4 subuh atau jam 3 sore. Karena golden hour nya ada di waktu subuh atau sore saat matahari terbenam.
    --
    Travel Lumajang Surabaya

    ReplyDelete

Followers

Contact Form