Mountaineering

Gunung Slamet - Atap Jawa Tengah [Cerita Pendakian 2]

5/10/2016setapakkecil



“Brrrrr… dinginnya malam ini” Gumamku kepada Vero dan Mas Dino yang sedang berberes peralatan masak memasak yang habis digunakan tadi. Perut sudah kenyang dan akhirnya pun mata pun semakin sayu. Tapi sayang rasanya meninggalkan malam yang cerah ini begitu saja.

Aku coba keluar dari tenda, dan semakin dingin saja rasanya, tubuh pun seketika menggigil karena suhu yang turun drastis ini. Cuaca kali ini sangat cerah di banding waktu kami berangkat kemarin yang selalu diselimuti mendung dan hujan.



Aku adalah pengagum langit malam, seakan terhipnotis aku terpana melihat cahaya bintang berjuta tahun cahaya jaraknya dari Bumi. Dan dengan disini pun aku kian sadar betapa besar kekuasaan Tuhan yang telah menciptakan gugusan bintang di angkasa sana.

Malam ini baru menunjukkan pukul 19:30 namun gugusan bintang yang bergerombol atau yang biasa disebut dengan “Milky Way” telah menampakkan diri. Mungkin bintang bintang ini ingin menyapa kita di permulaan malam itu, dan seakan tak ingin kehilangan momen aku segera mengambil peralatan kamera dan tripod.

Bintang Bintang Di Pos 7
Aku coba berkeliling disekitaran pos 5 mencari tempat yang cocok dengan sudut pandang pas untuk mengabadikan penampakan “Milky Way” malam ini. Segera aku pasang tripod dan mensetting kamera agar dapat menangkap cahaya cahaya langit yang berumur puluhan tahun ini.

Dan bagi kalian yang tertarik untuk mengabadikan bintang bintang bisa membaca sedikit Tips yang aku berikan dalam link berikut: “Memotret Malam Yang Bertabur Bintang”.

Diantara Langit Malam Penuh Warna
Memang mengasikan mengabadikan momen malam seperti ini, suhu dingin seakan menghilang sewaktu aku sedang fokus berkutat dengan kamera. Dan tak terasa 90 menit sudah aku berkutat dengan kamera, cukup lama juga pikirku dan ini sudah cukup, kami harus segera istirahat karena diujung malam nanti kami harus bangun lebih awal mempersiapkan semuanya dan kembali berjalan menuju puncak Slamet.

Summit Attack

Saya sudah terbangun mulai dari jam 00.00 malam entah kenapa tiba tiba keadaan di sekitar tenda menjadi sangat ramai. Mata ini pun terjaga, namun aku lihat di kanan kiri kawan kawanku masih nyenyak untuk tidur.

Aku coba untuk pejamkan mata kembali namun suara suara pendaki di luar tenda kami semakin ramai saja padahal sebelumnya sunyi senyap. Dan puncaknya adalah ada sedikit provokasi dari luar tenda, mulai dari teriakan hingga menyetel lagu dengan begitu kerasnya.

Aku pun naik pitam dan “Ja***kkkk, diam kalian semua.. ini waktunya istirahat kalau kalian mau ribut jangan disini” aku pun berteriak dari dalam tenda dengan umpatan khas Surabaya yang maaf aku sensor karena memang kurang pantas aku tuliskan disini.

Dan akhirnya mereka terdiam, dan mengecilkan suara musik.

“ Dan dari cerita ini ada sedikit pesan bagi kalian para pendaki, saling hormati sesama pendaki dan jagalah sikap selama melakukan pendakian “

Suasana yang kurang mengenakkan sudah cukup untuk membuat aku terjaga di sisa malam ini. Tak banyak yang aku lakukan saat itu sampai jam alarm berbunyi tepat pukul 02.00.

Aku coba bangunkan kawan kawan yang lain, dan kami benar benar terbangun keseluruhan pukul 02:30. Aku coba untuk keluar tenda terlebih dahulu dan memberi semangat kepada yang lain agar segera mempersiapkan perlengkapan kembali.

Suhu di luar tenda semakin dingin saja, entah berapa suhu waktu itu tapi yang jelas cukup untuk membuat telapak tangan mati rasa, ketika bernafas pun dari hitung sudah keluar asap karena dinginnya suhu. Aku coba untuk menggosok gosokan telapak tangan untuk menimbulkan rasa hangat walau hanya untuk sesaat.

Selang 45 menit untuk mempersiapkan semuanya, dengan teriakan pelan pembakar semangat “Bebas Polioo Woyooo” akhirnya kami pun segera melangkah meninggalkan tempat camp kami di Pos 7. Paling lambat 2 jam lagi kita akan sampai puncak Slamet, dan berharap kami semua baik baik saja dan tak ada penghalang apapun.

Jalur pendakian selepas pos 7 mempunyai elevasi sekitar 45 derajat dengan medan terbuka diantara pohon pohon cantigi pendek. Namun beruntungnya kami malam itu karena tak ada angin sedikit pun yang berhembus. Bintang pun semakin memancarkan sinarnya, berkelap kelip berpadu indah dengan sinar lampu yang menghiasi daratan di bawah sana.

Alam sedang berbaik hati mendukung langkah kami menuju puncak tertinggi Slamet.

Kami berjalan beriringan, mencoba menyamakan irama langkah kaki. Selangkah demi selangkah kami coba pijakkan kaki melalui jalur sempit yang semakin menanjak. “Break” entah siapa yang berucap disedikit lahan datar di pos 8, kami mencoba mengatur nafas untuk menjaga tempo langkah kaki kita.

Jalur setapak kecil yang sangat menanjak sedari kita berangkat tadi tiba tiba menjadi sebuah dataran. Berbatu dengan pemandangan terbuka menghadap ke puncak Slamet, dan hanya ada beberapa pohon cantigi kecil yang menjadi pemanis.

Ternyata kami sudah sampai di Pos 9 atau biasa disebut “plawangan” pembatas atau batas vegetasi antara hutan dengan lereng puncak yang terbuka. Terdapat plang besar berwarna merah yang menjadi pertanda bagi siapa saja yang turun dari puncak agar tak salah arah.

Puncak Slamet Dikeheningan Malam
Medan pendakian pun berubah menjadi bebatuan cadas yang mudah terlepas dengan kemiringan yang sangat tajam. Perlahan demi perlahan aku mencoba melangkah sembari memilih jalur yang tepat untuk dilewati. Tak ada penunjuk arah yang jelas, aku hanya berpatokan dengan bayangan dataran yang jauh diatas sana.

Jalur yang aku pijak padat namun bebatuan yang mudah lepas dan membuat tergelincir. Jalur menuju puncak Slamet sekilas lebih mudah dibandingkan pendakian menuju Puncak Semeru atau Puncak Rinjani. Namun semudah apapun itu dalam pendakian hal yang terpenting adalah keselamatan diri kita, maka dari itu kita harus selalu berhati hati dalam setiap kondisi.

Di tengah perjalanan kami berlima mulai terpencar. Sandy berada jauh didepan. Aku, Adam dan Vero berjalan dengan konstan, dan mas Dino berjalan sendiri dibelakang karena fisik yang kurang fit. “Pelan pelan saja asal selamat dan sampai” menjadi acuan yang tertanam dalam hati, toh puncak Slamet juga tak akan lari jika dikejar.


3428 Mdpl

Tanjakan berbatu sudah berlalu, para pendaki yang bermental baja pun segera mendapat balasan. Tanah datar memanjang, mengedarkan pandangan ke segala penjuru bebas tiada batas. Disini aku bisa melepaskan semua rasa kebahagiaan, keharuan dan kebanggaan karena di saat ini aku diberi kesempatan untuk menjejakkan kaki di tanah tertinggi Jawa Tengah.

Puncak Gunung Slamet
Plakat plakat yang menancap bertuliskan “Gunung Slamet – 3428 mdpl” merupakan bukti nyata kami disini berlima telah berhasil berdiri di Puncak Gunung Slamet. Kaki yang gontai dan nafas yang tersengal pun aku lupakan berganti dengan wajah sumringah, dan ucapan kata syukur “Alhamdulillah”.

Keadaan masih sangat sepi ketika kami datang, mungkin karena kami yang terlalu pagi tiba di puncak pukul 04.40 , sembari terduduk aku coba menikmati setiap momen yang bisa aku dapatkan. Sembari menunggu sang fajar keluar dari peraduannya.

Pagi Yang Sempurna
Memandang ke arah utara nampak sorot lampu kota nan indah. Mungkin itu kota tegal atau pemalang pikirku, dan disebelah barat kota purbalingga juga nampak indah dengan kelap kelip lampu kotanya. Tak ada awan yang menghalangi, semua tampak jelas dan sangat menawan.

Dan selang tak beberapa lama warna jingga pun nampak dari batas cakrawala sebelah timur. Perlahan lahan sang fajar pun tampak merekah dan sekali lagi aku bertemu dengan spectrum spectrum cahaya yang hanya nampak sekali sepanjang hari ini.



Siluet siluet pun nampak muncul menjadi pemanis diantaranya indahnya pagi mengikuti alur sang fajar yang muncul ke permukaan.  Komposisi yang paling menarik ketika ada salah satu kawan berpose di tengah warna ajaib ini dengan siluet Gunung Sindoro dan Sumbing dibelakangnya.

Kawah Aktif Di Puncak Slamet
Menengok ke sebelah barat terlihat kepulan asap pekat dari kawah Gunung Slamet. Memang gunung ini masih aktif dan sempat mengalami erupsi beberapa bulan lalu hingga gunung Slamet sempat ditutup kurang lebih 1 tahun lamanya. “Lirang” atau belerang nampak sangat banyak berada di kawah aktif itu, dan mungkin suatu saat kawah ini bisa memberi penghidupan seperti halnya Kawah Ijen atau Gunung Welirang.

Full Team
Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 sinar matahari pun semakin terik bersinar, sudah saatnya untuk turun kembali. Rasa enggan dan berat beranjak pergi tiba tiba tertanam di dalam hati. Aku masih ingin menikmati ini semua, tapi logika yang memberi batas, karena kehidupan kita sesungguhnya ada dibawah sana.

Perjalanan Masih Panjang
Sungguh istimewa gunung ini pikirku dalam hati. Dia mempunyai nama yang sangat istimewa “Slamet” yang berarti selamat dalam Bahasa Jawa. Namanya mengandung doa untuk  warga yang ada di kaki gunung hingga semua yang ada di dalam hutan hutannya dan apapun yang menggantungkan semuanya dari gejolak asap pekat Sang Slamet.

Perjalanan Turun Dari Puncak Slamet
Perjalanan turun masih sangat panjang, namun sekali lagi Slamet memberikan apa yang tidak bisa saya temukan jauh di bawah sana. Maka dari itu aku akan mencoba menikmati semuanya dan Terima kasih banyak Gunung Slamet. Semoga aku bisa kembali lagi menyapamu….



Cerita Sebelumnya



You Might Also Like

4 komentar

  1. .ka, ini liburan kemarin ke slamet nya?
    .wah sayang ya g ketemuuu
    .eh, salam kenal ka..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini liburan yang bulan maret lalu kok mbak, salam kenal juga ya mbak. Thanks udah mampir mampir

      Delete
  2. keren bangeeeeeeeet. haha aku ke slamet summitnya jam 4 pagi. ga kebagian sunrise XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang penting udah sampe puncaknya yang membahana kan? untuk sunrise kapan kapan bisa diulang

      Delete

Followers

Contact Form