Wilis, sebuah nama yang telah aku kenal dari dulu sudah tak asing lagi.
Banyak jalan jalan di beberapa kota memakai nama ini, bahkan PT. KAI menamai
salah satu kereta eksekutif terbaik mereka dengan nama Wilis. Namun hanya
sekedar nama yang terngiang oleh karena itu kali ini aku ingin menelusurinya
untuk dapat melihat dan menikmati keindahannya lebih dalam lagi.
Awal Bulan Maret satu tahun yang lalu, bertepatan dengan musim hujan
yang masih cukup pekat kala itu. Aku ditemani oleh Vero dan Yuda yang sengaja
datang jauh-jauh dari Kota Hujan Bogor untuk dapat ikut menelusur lebih dalam
ke Gunung Wilis.
Aku berjalan mondar mandir, Yuda duduk terdiam, sedangkan Vero sibuk
memencet tombol dan mencari koneksi sinyal. Kami diliputi kegalauan di depan
Basecamp pendakian, ketika datang kami mendapat kabar bahwa pendakian hari itu
masih ditutup akibat cuaca buruk yang melanda beberapa hari sebelumnya, namun
pada hari itu cuaca sedang bersahabat dan sangat cerah.
“Buk, cuaca bagus hari ini, apa masih ditutup pendakiannya?”
“Kami sudah datang jauh-jauh buk, apalagi kami lihat ada mobil yang
terparkir disini, berarti sudah ada pendaki diatas sana kan?”
Kami berusaha memelas dan sedikit beradu argumen saat itu.
“Saya hanya menyampaikan pesan dari suami mas, coba mas mbak telpon
suami saya dan minta izin saja langsung” kata ibu penjaga basecamp.
Oleh karena itu Vero sejak tadi sibuk mencari sinyal dan berusaha untuk
menelepon Pak Purwanto sang ketua basecamp yang kebetulan sedang keluar kota.
Tak lucu jika kami harus gagal mendaki kali ini dan harus kembali
pulang. Begitu sambungan telepon berhasil diangkat, beberapa kalimat memelas
keluar, akhirnya senyum dari Vero mengembang. Tak perlu dia jelaskan lagi aku
dan Yuda pun sudah mahfum akan maksudnya.
Bismillah… Wilis kami datang
Aku melihat jam tangan di pergelangan tangan kiri, jarumnya menunjuk
angka 11 bertepatan kaki kami mulai melangkah menelusuri setapak kecil jalur
pendakian. Memulai pendakian ketika matahari tepat ada diatas kepala adalah hal
yang sangat menguras tenaga, apalagi permulaan jalur melewati ladang warga yang
tanpa pohon tinggi sebagai peneduh. Sungguh ujian awal yang teramat berat.
Jalur panas di tengah ladang |
Sangat sering kami berhenti untuk sekedar menghilangkan peluh maupun
istirahat di tempat yang kami anggap nyaman. Walaupun panas menyengat, jalur
terbuka seperti ini membebaskan mata kita untuk memandang ke segala arah.
Sedikit memicingkan mata nun jauh di lereng-lereng Gunung Wilis banyak sekali
terdapat air terjun.
“satu, dua, tiga… eh ada lagi empat, eh lima..” berturut turut kami
lomba berhitung air terjun yang ada di kejauhan. Terkadang pula kami main tebak
tebakan apakah garis putih di lereng jauh sana merupakan air terjun?. Tak ada
yang bisa memastikan, hanya langkah kaki yang akan menuntun kami pada jawaban
itu nanti.
Selepas ladang terbuka akhirnya kami memasuki pintu rimba. Pohon-pohon
nampak masih alami, berjejer rapat, dan membuat kanopi alami yang menghadang
sengatan sinar matahari. Panas menghilang namun ada masalah baru yang hadir
yaitu nyamuk, entah bagaimana di hutan ini nyamuk luar biasa banyak dan sungguh
ganas. Setiap kaki melangkah nyamuk-nyamuk ini juga seakan tanpa ampun
menyerang.
Jalur penuh dengan nyamuk |
Permasalahan nyamuk ini masih ada hingga melewati Pos 1, semakin keatas
nyamuk semakin berkurang dan akhirnya menghilang. Jalur pun nampak mulai
berubah yang sebelumnya konstan menanjak kini mulai beragam dari dataran
landai, dan sesekali tetap menanjak hingga kami tiba di Pos Gubuk yang berjarak
2 jam dari Basecamp awal mulai kami berjalan.
Berjalan dan terus berjalan dalam hati pun merasakan sesuatu yang
berbeda dibandingkan dengan gunung-gunung lainnya. Ya, Gunung Wilis ini sangat
sepi dan terkesan masih sangat alami, mungkin efek dari penutupan jalur
pendakian beberapa hari. Dan satu hal lagi yang menjadi catatan, sepanjang
jalur pendakian terkesan sangat bersih dan minim oleh sampah dari pendaki.
Beberapa fakta awal yang menyenangkan dan semoga sampai kami tiba di puncak
rasa menyenangkan ini masih tetap terjaga.
Jalur pendakian minim dengan penunjuk arah, namun kami tak risau, hanya
perlu mengikuti setapak kecil saja tanpa membuat jalur baru, dan beruntungnya
jalur yang ada pun minim dengan persimpangan yang membingungkan.
“Pos Sekartaji apa masih jauh?”
“Kok gak nyampe nyampe ya…?”
Beberapa pertanyaan yang sering terlontar namun tak ada satupun dari
kami yang sanggup menjawab. Hanya berusaha untuk berjalan dan terus berjalan.
Hingga akhirnya kami tiba di Pos Goa Alap Alap setelah menempuh perjalanan
hampir 4 jam lamanya. Dari pos ini vegetasi mulai berubah. Yang tadi hanya
berupa hutan lebat kini menjadi pepohonan pinus ditemani dengan alang-alang
pendek. Pemandangan yang ada pun nampak lebih terbuka. Padang savanna hijau
dikejauhan dan sesekali puncak Wilis muncul diantara pekatnya kabut.
Pemandangan terbuka di jalur menuju Sekartaji |
Menurut papan informasi pendakian yang ada di Basecamp tadi jika kita
sudah tiba di Pos Goa Alap-alap berarti hanya butuh 30 menit saja untuk tiba di
Pos Sekartaji tempat kami akan mendirikan tenda dan bermalam sebelum menggapai
puncak keesokan harinya. Langkah kaki kami lanjutkan dan pemandangan yang ada
pun semakin menawan. Jalur membelah punggungan bukit ditemani padang savanna
hijau, ahh sungguh cantik sekali engkau Wilis.
Sekartaji
Jam di tangan tepat menunjukkan pukul 15.00 saat kami tiba di Pos
Sekartaji. Sudah ada satu rombongan berisi 6 pendaki yang membuka tenda disini
dan setelah kami tanya ternyata benar mereka yang menitipkan mobil di Basecamp.
Kami memilih lahan yang lebih datar diatas namun ada perdebatan kecil karena kami
akan mendirikan tenda tepat di hadapan Candi.
“Gimana nih, gak apa-apa kita camp didepan candi begini?” Tanya Yuda
sedikit was-was
“Bismillah aja, dan yang terpenting kita disini permisi dahulu, karena
kita tamu di gunung Wilis” Sahutku untuk memantapkan.
Dan memang benar jika kita bepergian atau mendaki ke gunung manapun
alangkah baiknya kita selalu harus berlaku santun, menjaga adab, dan
menghormati kepercayaan yang ada walaupun tak perlu juga untuk meyakininya.
Karena di gunung kita hanyalah sebagai tamu yang datang dan pergi.
Pos Sekartaji adalah pos paling cocok untuk mendirikan tenda dan
bermalam karena terdapat beberapa lahan datar, walaupun tak begitu luas dan
hanya cukup menampung 10 tenda saja. Namun keberadaan sumber air lah yang
menjadikan pos ini tujuan para pendaki untuk beristirahat sejenak. Air mengalir
deras yang keluar dari ujung pipa ini tak pernah mengering sepanjang musim.
Begitu aku teguk, kesegarannya sungguh tiada tara bahkan air mineral yang
digembar gemborkan alami di papan iklan masih kalah jauh dibandingkan air
sumber Pos Sekartaji ini.
Bergegas tenda dikeluarkan. Perlengkapan tidur ditata. Makanan disiapkan,
kemudian kami menikmati suasana hingga matahari kembali ke peraduannya. Kami
bertiga pun memutuskan untuk beristirahat sejenak didalam tenda meluruskan
kaki, meletakkan bahu yang seharian tadi sudah terforsir untuk berjalan dan
membawa tas keril penuh beban.
Jam 19.30 aku terbangun, kamera dan tripod aku persiapkan, kemudian aku
mengajak yang lain untuk keluar tenda menikmati suasana malam syahdu
bergelimang gemintang.
Sebuah malam yang sempurna pikirku, tak ingin membuang waktu sebelum
kabut kembali datang aku menyuruh Yuda dan Vero untuk berpose dibebatuan
disamping candi.
Dalam beberapa kali take, aku mendapatkan foto malam yang begitu
indahnya perpaduan manusia, candi bersejarah berlatar kelap kelip bintang
menjadikan sebuah perpaduan yang sempurna.
Cukup lama kami mengambil beberapa foto untuk diabadikan malam itu
hingga akhirnya kabut tebal memaksa kami untuk kembali masuk kedalam tenda dan
beristirahat sebelum esok subuh kami akan menggapai Puncak Gunung Wilis.
Menuju Puncak Gunung Wilis
Pukul 02.30 satu persatu alarm dari handphone mulai berbunyi.
Membuyarkan tidur nyenyak kami malam itu. Suhu begitu dingin, mendekap sleeping
bag nampaknya menjadi pilihan berat untuk kami tinggalkan. Namun bayangan
Puncak Wilis segera membulatkan tekad untuk meninggalkan kenyamanan ini.
Di seluruh penjuru langit nan gelap itu, bintang-bintang masih setia
bersandar. Gunung Wilis pagi itu seakan milik kami bertiga saja, tak ada
pendaki lain, rombongan dibawah kami nampak lebih memilih untuk tidur daripada
harus kedinginan seperti kami. Namun tekad kami sudah bulat, kami akan
melangkah menggapai puncak Gunung Wilis.
Kami berjalan menerabas semak-semak rebah yang basah. Tak jarang
mengangkat kaki lebih tinggi ketika menjumpai akar pohon yang mencuat di atas
jalan setapak. Wujud tebing terjal menjulang tinggi yang terlihat gelap hanya
sebagai pengingat jika perjalanan ke puncak masih panjang.
Berjalan dan berjalan namun kami dituntut untuk lebih waspada untuk
navigasi, karena keadaan gelap jalur yang sesekali bercabang dan tanpa penunjuk
arah. Sekali kami salah arah dan nampaknya menuju tebing yang berakhir dengan
air terjun dibawah namun kami segera sadar lalu kembali mencari jalur yang
benar. Begitu jarangnya didaki jalur pendakian menuju puncak nampak sudah mulai
tertutup rumput dan lumut. Beberapa kali kami bergantian terpeleset karena
begitu licinnya lumut.
Kami tiba di Pos Cemara Besar tepat ketika matahari mulai menampakkan
sinarnya. Momen magis yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja.
“Berhenti sebentar ya, kita istirahat dulu sambil foto-foto” Ujarku
Suasana kelam nan gelap perlahan lahan berubah menjadi lebih berwarna
sejalan dengan cahaya magis yang keluar dari peraduannya. Pemandangan indah pun
tersaji tepat didepan mata. Gunung Arjuno, Welirang, dan Buthak nampak begitu
gagah berdiri di seberang sana. Jalur kecil meliuk liuk melewati punggungan
bukit dan membelah savanna hijau menunjukkan sudah begitu jauhnya kami melangkah.
Selepas Pos Cemara Besar nampaknya jalur paling menantang sudah menanti
kami. Didepan terdapat sebuah tebing sekitar 20 meter berelevasi hampir 90
derajat yang harus ditaklukkan. Namun beruntungnya sudah disediakan tali
karabiner untuk memudahkan para pendaki yang akan naik ataupun turun, tapi
tetap saja kaki-kaki ini seakan bergetar ketika melewati jalur nan curam
seperti ini.
Selepas tebing vertikal jalur masih menanjak tajam, disini kami dipaksa
untuk berkali kali berhenti, nafas tersengal, peluh berjatuhan membasahi tubuh,
badan yang mulai lemas meronta untuk segera diberikan asupan.
Vero dan Yuda yang nampak kelelahan |
“Ada bendera diatas sana, puncak sebentar lagiii” aku berteriak
memberikan semangat untuk Vero yang nampaknya sudah sangat kelelahan.
Setelah 5 jam berjalan dari Pos Sekartaji akhirnya kami berhasil
menggapai Puncak Limas Gunung Wilis. Terdapat sebuah tiang berbendera merah
putih yang aku lihat dari bawah tadi, disampingnya terdapat plang bertuliskan
“Puncak Limas 2349 mdpl”. Segala Lelah yang sedari tadi menggerogoti tubuh
seakan rontok dan hilang begitu saja berganti dengan senyuman semangat yang
menyiratkan rasa kepuasan telah berhasil menggapai Puncak Gunung Wilis. Pengorbanan
atas singkatnya tidur dan berjalan di tengah malam yang dingin kini terbayar
sudah.
Cara kami untuk merayakan keberhasilan menggapai puncak berbeda masing
masing individu. Saya memilih duduk merenung menikmati suasana, Vero dan Yuda
langsung berloncatan girang berpose mengabadikan momen dengan berfoto bersama.
Puncak Limas tak begitu luas, dikelilingi oleh pepohonan pinus namun tak
begitu rapat sehingga pemandangan lepas didepan masih dapat kita nikmati
sepuasnya. Diantara pepohonan pinus Puncak Limas aku melayangkan pandangan jauh
kebelakang. Di kejauhan nampak lembah hijau asri berlatar bukit dengan tinggi
yang aku perkirakan melebihi dari Puncak Limas tempat saya berdiri. Dalam hati
pun aku menebak nebak mungkin itu yang dinamakan Puncak Ngliman, puncak
tertinggi dari Gunung Wilis yang menjulang 2562 mdpl.
Memang Gunung Wilis mempunyai beberapa puncak, dan banyak jalur
pendakian yang berbeda namun memang akses yang masih sangat sulit dan jarang
dilalui menjadikan puncak tertinggi bernama Ngliman itu masih sangat jarang
dijamah oleh para pendaki.
Sebelum turun dari puncak dan kembali ke Pos Sekartaji untuk berkemas,
aku memotret satu foto terakhir panorama alam yang disuguhkan. Sungguh, tak
sanggup berkata-kata dengan pemberian dari Tuhan saat ini. Gunung Wilis
ternyata memberikan sesuatu yang melebihi dari ekspektasi awal. Awalnya aku
hanya menganggap pendakian kali ini seperti pendakian di gunung-gunung lainnya,
Namun ternyata Wilis memberi lebih, sesuatu yang tak aku dapatkan dari gunung-gunung
lainnya, Luar biasa !!!
Terima kasih Wilis, semoga kelak aku mempunyai kesempatan untuk kembali bertamu.
Catatan Pendakian :
Pos 1 : 60
Menit
Pos Panjer : 30
Menit
Pos Gentongan : 30 Menit
Pos Goa Alap Alap : 90 Menit
Pos Sekartaji : 30
Menit
Pos Pospan : 150
Menit
Pos Cemara Besar : 60 Menit
Puncak Limas : 60 Menit
- Estimasi waktu pendakian tergantung dari fisik dan kecepatan masing-masing individu, waktu yang aku tulis diatas adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan.
- Contact Person Basecamp Pendakian via Sekartaji (Bajulan) Nganjuk : Pak Purwanto (0852 3283 0246).
- Lokasi Basecamp bisa dicari menggunakan Google Maps dengan kata kunci “Pos Ijin Gn. Limas Sekartaji”.
1 komentar
Kebetulan aku lagi nyari catatan perjalanan pendakian ke Gunung Wilis, beruntung sekali aku nyasar di blog ini. Informasinya lengkap kakak. Izin save ya buat referensi nanti mau nanjak ke sana. Matur tengkyuh.
ReplyDelete