Mountaineering

Belajar Tanggap Bencana Dari Gunung Tambora

9/02/2018setapakkecil


Mendaki Gunung Tambora adalah suatu impian yang kini menjadi nyata. Bukan ketinggiannya yang aku incar namun cerita dan sejarah letusannya dahulu kala yang bisa menggetarkan dunia. Sebuah kebanggaan tentunya bisa menjejakkan kaki di Tambora, Gunung dengan letusan terbesar kedua di Dunia.


Gunung Tambora yang berada di Pulau Sumbawa ini dapat diakses dengan beberapa cara yang pertama dengan cara angkutan darat dan yang termudah adalah dengan angkutan udara. Jika melalui angkutan udara kalian bisa mengambil tujuan ke Kota Bima dengan bandaranya yang bernama “Sultan Muhammad Salahudin”. Untuk penerbangan yang ada pun cukup bervariatif dari berbagai kota.

Dan untuk menuju Basecamp pendakian dari bandara Bima bisa menggunakan bis umum tujuan Calabai / Pancasila (Berangkat dari Bima setiap jam 3 sore) atau dengan menyewa kendaraan. Gunung Tambora mempunyai beberapa jalur pendakian resmi diantaranya jalur Ndoro Canga, Ndoro Peti, Kawinda Toi, dan Pancasila. Namun dari semua jalur yang ada, Puncak Tambora hanya dapat diakses dari Jalur Pancasila. Perjalanan menuju Basecamp Pancasila ditempuh kurang lebih 4 – 5 jam dari Bandara Bima.

Dalam perjalanan menuju Desa Pancasila panorama sepanjang perjalanan sungguh sangat memanjakan mata. Jalur beraspal mulus dengan melewati lembah, perbukitan yang sangat khas Sumbawa. Pada pertengahan perjalanan pun kami melewati sebuah padang savanna sangat luas dengan latar belakang pemandangan Gunung tambora yang gagah dan birunya warna laut Teluk Saleh di kejauhan.



Padang savanna nampak sangat luas dan kering di musim kemarau saat ini. Ratusan kerbau dan sapi nampak sangat bebas berkeliaran. Tak ada kandang dan pagar yang membatasi, mereka pun nampak sangat bahagia dengan kebebasannya. Savanna ini pun mungkin menjadi tempat penggembalaan ternak terbesar di Pulau Sumbawa.

Jam tangan tepat menunjukkan pukul 22.30 ketika kami tiba di pelataran basecamp jalur pendakian Pancasila. Pak Saiful Bahri sang pemilik Besecamp dan ketua perizinan pendakian menyambut kedatangan kami malam itu. Pak Ipul sapaan akrabnya, mempersilakan kami untuk segera masuk dan berisitirahat dalam pekarangan rumahnya yang dia sulap menjadi kamar kamar homestay yang nyaman.

Desa Pancasila dengan latar Gunung Tambora di kejauhan
Pagi pun kembali menyapa, kami segera bergegas berkemas untuk mempersiapkan pendakian di hari pertama. Target kami hari ini adalah sampai Pos 3 kemudian bermalam sebelum melakukan “Summit Attack” pada tengah malamnya. Sebelum berangkat Pak Ipul menjelaskan kepada kami informasi tentang jalur pendakian Pancasila. Berbekal informasi dari Pak Ipul kami mendapat tambahan gambaran tentang jalur pendakian, ketersediaan air, dan info penting lainnya.

Pak Ipul pun menambah penjelasan jika jalur Pancasila merupakan jalur paling umum menjadi tujuan dari para pendaki karena memang puncak tertinggi Tambora hanya bisa dicapai dari jalur satu ini. Sedangkan Jalur lainnya hanya bisa mencapai bibir kaldera saja.

Hutan Rimba Menyambut

Perjalanan awal kami menggunakan jasa bantuan ojek dari warga Desa Pancasila. Tujuan kami adalah untuk menghemat tenaga karena Jalur Pancasila ini terkenal akan jalurnya yang panjang. Dengan jasa Ojek kami bisa mencapai Pos Pintu Rimba dengan waktu tempuh 45 menit, namun jika berkeras untuk berjalan kaki bisa membutuhkan waktu 2 – 3 jam. Sebuah pemanasan yang sungguh berat bukan?.

Pendakian sesungguhnya baru dimulai setelah bapak bapak ojek menurunkan kami di Pos Pintu Rimba. Hutan lebat nan rimbun mulai menyapa dengan jalurnya yang mulai menanjak. Dalam hutan vegetasi awal didominasi oleh pohon Binuang, Kelanggo, dan Walikukun. Pohon pohon ini nampak berusia tua dan tinggi menjulang menjadikan sepanjang jalur pendakian cukup teduh.


45 menit berjalan kami menjumpai Pos 1. Disini kami bertemu kawan kawan lokal yang berjaga dan bertugas untuk melakukan “Sweeping” terhadap para pendaki yang turun, karena pada saat itu banyak pendaki yang akan turun setelah merayakan tujuh belas agustusan di atas Puncak tambora.

“Kemarin banyak sekali yang bawa bunga Edelweiss mas” celoteh salah seorang penjaga di Pos 1.

“Apa alasan mereka bawa turun Edelweiss mas? Sahutku bertanya.

“Katanya sih buat lambang kesetiaan cinta dia sama pacarnya”

“Huaaahahahahaha” kami semua spontan tertawa terbahak bahak mendengarnya.

“Tapi kami hukum itu mereka, kami suruh kembali keatas dan membersihkan sampah di jalur. Sampai ada yang menangis juga mereka kemarin ketika kami hukum”.

“Semoga hukuman itu bisa memberikan pelajaran bagi mereka agar senantiasa menjaga alam dan tak merusak apapun yang ada di atas Gunung Tambora, semoga kedepan kepedulian itu bisa bertumbuh dalam diri mereka” timpalku mengakhiri.

15 menit kemudian kami mulai kembali melanjutkan pendakian. Jalur selepas Pos 1 cukup datar dengan sesekali tanjakan yang bisa kami toleran drajat kemiringannya dan cukup bersahabat. Namun tidak dengan jarak tempuhnya jalur Pancasila ini cukup panjang karena selepas pos 1 membutuhkan waktu 2 jam untuk mencapai Pos 2 dan 2 jam lagi untuk bisa menggapai Pos 3 tujuan kami hari itu.


Lebatnya hutan disepanjang jalur pendakian
Dan selama itu hutan rimba lebat seakan setia menemani langkah langkah mendaki hingga kami tiba di Pos 3 tepat pukul 15.30 . Pos 3 ini merupakan tempat paling ideal untuk bermalam sebelum menggapai Puncak Tambora. Karena di pos ini cukup luas dan sumber air terakhir. Menurut informasi dari Pak Ipul di pos setalah ini selanjutnya tak ada lagi ditemukan sumber air, yang ada hanya kubangan air kotor yang terdapat di Pos 5.

Menggapai Puncak Tambora

Pukul 01.00 kami telah berkemas. Segala perlengkapan pendakian hingga bekal biskuit, dan rendang telah masuk dalam ransel masing masing. Kami yakin untuk mengapai Puncak Tambora kali ini bakal tak akan mudah. Oleh karena itu kami mempersiapkan semuanya dengan baik.

Tak seperti sebelumnya jalur setelah Pos 3 ini di dominasi oleh tanjakan yang cukup curam dan berdebu. Vegetasi yang ada pun nampak mulai berubah menjadi Pohon Pohon pinus diselingi dengan tumbuhan perdu dan tumbuhan khas yaitu “jelatang”. Tumbuhan yang menjadi momok para pendaki karena sengatannya yang menyakitkan jika tangkai atau daunnya yang berduri tak sengaja tersentuh oleh bagian tubuh kita.


Jalur penuh dengan tumbuhan jelatang
Berjalan semakin jauh, dan semakin tinggi hutan hutan yang ada kemudian semakin merenggang berganti dengan savannah dengan tumbuhan perdu pendek. Menjadikan angin bertambah kencang, suhu pun terasa lebih dingin karena tak ada penghalang lagi disekitar kami.



Pukul 03.00 perjalanan mulai memasuki fase akhir dimana jalur yang sebelumnya tanah padat berubah menjadi pasir pasir halus. Pasir pasir yang ada tak sama seperti di Gunung Semeru, Jalur pasir di Gunung Tambora ini terasa lebih padat sehingga tak terlalu menyulitkan kaki untuk melangkah. Kaki terseret, berjalan gontai, peluh menetes membasahi wajah, deru nafas pun memburu. Tapi kemudian semua terhenti ketika aku melihat memburat cahaya jingga nan indah mulai terlihat dari ufuk timur. Perlahan lahan semakin cerah menggantikan malam pekat nan dingin. Lubang berdiameter hampir 7 kilometer yang ada dihadapan pun mulai menampakkan wujudnya. Pagi itu tepat di bibir kaldera aku terdiam, terpana, dan terpesona akan kemegahan Gunung Tambora.


Dalam keheningan pagi aku terdiam dan termenung melihat kemegahan dari Kaldera Gunung Tambora. Cuaca nampak sempurna, tak ada kabut, langit begitu cerah, hembusan angin pelan menggoyangkan bunga bunga edelweiss yang tersebar di bibir kaldera. Sebuah atraksi alam yang sempurna dan membentuk sebuah perpaduan sempurna sebuah lukisan alam yang tak terperi indahnya.

Aku coba memejamkan mata dan menikmati semua. Semua atraksi alam yang aku rasakan dan lihat ini merupakan sebuah peninggalan dari masa lampau akan adanya sebuah bencana besar yang pernah terjadi. Peninggalan bencana ini pun seakan memberikan pesan pada siapa saja di masa yang akan datang untuk dapat mengantisipasi bencana dan hidup berdampingan dengan semua itu.

Puncak Tambora ada di kejauhan
Aku mengangguk takzim, dan berdoa dalam hati kepada Sang Ilahi pencipta alam semesta agar semua yang ada dihadapan ini dapat memberikan sebuah pelajaran bagi semua dan pengingat jika dahulu Tambora pernah menyapa dunia dengan bencananya.


Daya tarik dari Gunung Tambora ini adalah Kalderanya yang super besar. Dari dasar kaldera yang mempunyai kedalaman 1 kilometer ini nampak di pinggirannya asap asap masih keluar dari dalam tanah. Bau belerang pun tercium tipis tipis. Dan nampak dibawah sana terdapat sebuah gundukan bebatuan yang selalu mengeluarkan asap, masyarakat sekitar menyebutnya sebagai “Ndoro Afi Toi” atau Gunung Api Kecil. Sebuah anak gunung tambora yang muncul setelah letusan pada masa lampu.

“A Year Without Summer”

10 April pada tahun 1815 atau 203 tahun yang lalu. Gunung Tambora meletus dengan begitu dahsyat. Suara gemuruh ini terdengar sampai ke Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Maluku. Memuntahkan 160 kilometer kubik material abu, gas, dan batuan, membentuk tiga kolom asap yang tingginya 43 kilometer menembus lapisan stratosfer. Untuk sampai ke ketinggian itu, dibutuhkan energi letusan setara dengan ledakan 171.500 unit bom atom.



Aliran piroklastik panas mengalir turun menuju laut di seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa Tambora. Ledakan besar terdengar sampai sore tanggal 11 April. Abu menyebar sampai Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Akhirnya letusan Tambora kembali mulai mereda antara tangal 11 dan 17 April 1815 dan sekaligus melenyapkan tiga kerajaan di sekitar gunung pada saat itu yaitu kerajaan Sanggar, Pekat, dan Tambora. Tercatat lebih dari 90.000 jiwa menjadi korban keganasan dari letusan Tambora. Ketika amuk mereda, tinggi gunung yang semula 4.300 meter tertinggi di Indonesia tinggal tersisa 2.851 meter. Kaldera berdiameter 7 km menjadi saksi bisu letusannya yang maha dahsyat



Debu vulkanik menyebar setinggi puluhan kilometer mempengaruhi iklim seantero Bumi, menutup sinar matahari selama berbulan-bulan lamanya. Bumi bagian utara dan selatan tetap menjadi dingin. Di Eropa dan Amerika Utara pun matahari tetap tertutup debu vulkanik dan membuat daerah tersebut tetap dingin walau dimusim panas. Jutaan orang kelaparan, mayat terkapar bergelimpangan, semua akibat tumbuhan layu dan mati tanpa adanya matahari sepanjang tahun. Salju tak kunjung cair, masa itu dikenal dunia sebagai “Tahun yang tak melalui musim panas” atau “A year without summer”

Bencana Itu Memang Benar Adanya

Setelah cukup puas menikmati Puncak Tambora dan mengabadikan kemegahan dari Kawah Tambora kami pun segera bergegas kembali turun. Jalur cukup panjang maka dari itu kami berjalan pelan dan santai menikmati semua panorama saat perjalanan turun.

Matahari bersinar sangat terik, awan pun tak nampak sedikitpun, debu debu pun berterbangan terkena hempasan angin yang bertiup cukup kencang. Setelah kembali memasuki areal hutan langkah kakiku terhenti karena merasakan getaran yang cukup kencang.

Pada awalnya aku mengira tanah yang aku pijak kurang stabil tapi setelah melihat pohon, dan daun daunan disekitar ikut bergoyang aku baru tersadar jika ini adalah gempa. Cukup pelan memang hingga Vero, Andrian, dan Juli yang berjalan di depan tak tersadar akan adanya goyangan gempa tersebut.

5 menit berselang goyangan pun kembali terasa, bedanya kali ini terasa cukup kuat hingga kami ber 4 sempat berteriak “Gempa…Gempaa”. Berlangsung beberapa detik saja namun cukup membuat bergetar isi hati untuk berdoa semoga di Suatu tempat dibawah sana tak terjadi gempa yang seperti kami rasakan diatas sini.



Setiba di Pos 3 kami pun segera bertanya kepada kawan kawan apa mereka juga merasakan gempa seperti yang kami rasakan?. Ternyata mereka juga merasakan goyangan yang cukup besar. Hati ini pun kembali gelisah apa dibawah sana juga terjadi gempa? Di Lombok, Sumbawa, Atau dimana? Doa pun aku panjatkan sekali lagi semoga hal ini hanya cukup kami yang merasakan disini.

Malam pun menjelang, ketika jam di tangan menunjukkan waktu 22.58 tak disangka tanah disekitar pos 3 tempat kami menginap malam itu terguncang dengan hebatnya. Gemerisik pohon disekitar menandakan adanya gerakan kencang, tenda tenda kami bergoyang goyang mengikuti gerak arah tanah yang bergerak. Di beberapa sudut terdengar kawan kawan berteriak "Gempaa..Gempaa"

Panik itu pasti, tapi untuk membuka pintu tenda pun seakan tak mampu, tubuh hanya terdiam, dengan mulut yang terus komat kamit membaca doa berharap tak ada pohon yang rubuh menimpa tenda kami saat itu. Hingga beberapa saat gempa pun mereda, kami semua terjaga di sisa malam. Dan benar saja gempa susulan terus menerus kami rasakan hingga pagi menjelang namun dengan intensitas goncangan yang lebih rendah

Pos 3, tempat dimana kami diguncang gempa
Ketakutan berkecamuk, dengan tiadanya akses informasi, kami hanya bisa berdoa semoga di bawah gunung sana tak merasakan apa yang aku rasakan malam itu. Tapi ternyata salah, selang 2 Hari setelah itu aku mendapat kabar jika Lombok diguncang gempa besar sekali lagi. Pikiran pun berkecamuk, kami yang ratusan kilo jauhnya merasakan goncangan sehebat itu. Bagaimana dengan saudara saudara yang Ada di pusat gempa di Lombok sana?

Hanya doa yang bisa aku panjatkan saat itu hingga saat ini. Semoga negeri ini senantiasa diberikan keselamatan dari bencana yang ada. Dari semua ini aku percaya jika Tambora dan deretan gempa yang terjadi saat ini adalah suatu peringatan bagi semua. Bahwa kita memang hidup berdampingan dengan bencana, tinggal bagaimana kita menyikapinya dan cara menanggulanginya jika suatu hari nanti bencana itu kembali lagi.

Full Team


Catatan Pendakian

Basecamp Pancasila – Pos Rimba : 45 Menit dengan ojek / 2 – 3 jam berjalan kaki
Pos Rimba – Pos 1 : 45 Menit
Pos 1 – Pos 2 : 2 Jam
Pos 2 – Pos 3 : 2 Jam (Pos 3 Sumber air bersih terakhir)
Pos 3 – Pos 4 : 1 Jam
Pos 4 – Pos 5 : 1 Jam (Pos 5 sumber air di dalam kubangan)
Pos 5 – Puncak Tambora : 4 Jam


Untuk informasi pendakian dan homestay di Desa Pancasila silahkan langsung menghubungi Pak Ipul yang akan senantiasa membantu para pendaki yang akan melewati jalur Pancasila.



You Might Also Like

0 komentar

Followers

Contact Form